Makalah
SIKAP
OLEH :
F1B314012
PROGRAM STUDI TEKNIK TAMBANG KONS
REKAYASA SOSIAL TAMBANG
FAKULTAS ILMU
DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen yang telah memberikan
bimbingannya kepada kami dan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
menyusun makalah ini.
Kami menyadari
dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, kelemahan, dan
keterbatasan. Oleh karena itu kami mengharapkan sumbangan pikiran, saran, dan
kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya.
Semoga dengan makalah yang sederhana ini dapat memenuhi harapan kita semua dan
memberikan manfaat bagi pembaca, sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan. Terima kasih.
Kendari
, 29 Mei 2015
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2` Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sikap
2.2
Domain Sikap
2.3 Kesesuaian antara sikap dan perilaku
2.4
meningkatkan prakiraan perilaku dari sikap
2.5
pengukuran sikap
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kehidupan
kita sehari-hari dipenuhi oleh sikap, baik sikap kita terhadap diri kita maupun
sikap kita terhadap orang lain. Hal yang dapat dimanfaatkan pengalaman kita
sehari-hari sebagai dasar untuk menilai sikap kita.
Pada awalnya, istilah sikap di
gunakan untuk menunjuk status mental seseorang. Sikap adalah reaksi atau respon
yang masih tertutup dari individu, selalu di arahkan terhadap suatu hal atau
objek tertentu dan sifatnya tertutup. Oleh sebab itu, manifestasi sikap tidak
dapat langsung di lihat, namun hanya dapat di tafsirkan dari tingkah laku yang
tertutup tersebut. Di samping sikap yang bersifat tertutup, sikap juga bersifat
sosial, dalam arti bahwa kita hendaknya dapat beradaptasi dengan orang lain.
Sikap menuntun tingkah laku kita sehingga kita akan bertindak sesuai dengan
sikap yang kita ekspresikan. Kesadaran individu untuk menentukan tingkah laku
nyata dan tingkah laku yang mungkin terjadi itulah yang di namakan sikap.
Individu memiliki sikap terhadap
bermacam – macam objek, seperti benda, orang, peristiwa, pemandangan, norma,
nilai, lembaga, dan sebagainya. Misalnya, sikap positif seorang pasien terhadap
perawat yang memberikan pelayanan keperawatan yang bermutu adalah menaati
segala nasihat dari perawat tersebut.
Sifat individu dan sebagian besar masyarakat membenci tindakan kekerasan
yang akhir – akhir ini sering terjadi di masyarakat.
Secara nyata, sikap menunjukkan
adanya kesesuaian antar reaksi dan stimulus tertentu yang dalam kehidupan
sehari – hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus
sosial. Sikap masih merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, bukan
pelaksanaan motif tertentu. Dengan kata lain, sikap belum merupakan tindakan
atau aktivitas, namun merupakan suatu kecenderungan untuk bertindak terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan di
buatnya makalah ini dapat di lihat sebagai berikut :
Apa Pengertian
Sikap ?
Domain sikap
Sikap ?
kesesuaian antara sikap dan perilaku ?
Meningkatkan prakiraan sikap dan perilaku ?
Pengukuran Sikap ?
1.3 Tujuan
Tujuan
di buatnya makalah inidapat dilihat sebagai berikut :
Untuk Memberikan Wawasan Tentang Sikap Kepada
Pembaca
Untuk Mengetahui Pengertian Sikap
Untuk Mengetahui Domain Sikap
Untuk Mengetahui kesesuaian antara
sikap dan perilaku
Untuk meningkatkan prakiraan sikap
dan perilaku
Untuk
Mengetahui pengukuran Sikap
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sikap
Pengertian Sikap Secara umum
adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih
bersifat permanen mengenal aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-komponen sikap adalah
pengetahuan. perasaan-perasaan, dan kecenderungan untuk bertindak.
Dalam pengertian yang lain,
sikap adalah kecondongan evaluatif terhadap suatu objek atau subjek yang
memiliki konsekuensi yakni bagaimana seseorang berhadap-hadapan dengan objek
sikap. Tekanannya pada kebanyakan penelitian dewasa ini adalah perasaan atau emosi. Sikap yang terdapat pada diri
individu akan memberi warna atau corak tingkah laku ataupun perbuatan individu
yang bersangkutan. Dengan memahami atau mengetahui sikap individu, dapat
diperkirakan respons ataupun perilaku yang akan diambil oleh individu yang
bersangkutan.
Sikap dapat juga
diartikan sebagai pikiran dan perasaan yang mendorong kita bertingkah laku
ketika kita menyukai atau tidak menyukai sesuatu.
Sikap yang diperlihatkan secara reflek akan tercermin tergantung suasana
hati kita pada saat itu kepada orang lain. Bila pada saat itu mengalami hal-hal
yang baik, seperti suatu keberhasilan,
maka akan terpencar sikap positif, begitu pula pada saat sedang mengalami
hal-hal buruk sikap yang diperlihatkan sering kali negatif.
Sikap (Attitude)
adalah :
o
Cara anda
melihat sesuatu secara mental yang mengarah pada perilaku yang ditujukan pada
orang lain, ide, objek, dan kelompok tertentu.
o
Cara orang
mengkomunikasikan suasana hati kepeda orang lain dan juga merupakan cerminan
jiwa, cara kita melihat sesuatu secara mental.
Sikap terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu :
a)
Keyakinan (Aspek
Kognitif)
Komponen yang berisikan apa yang diyakini dan apa yang dipirkan orang
menngenai suatu objek sikap. Apa yang dipikirkan dan diyakini tersebut belum
tentu benar aspek keyakinan yang positif akan menumbuhkan sikap positif,
sedangkan aspek negatif akan menumbuhkan sikap negatif terhadap objek sikap.
b) Perasaan ( Aspek Afekif )
Perasaan senang atau tidak senang adalah komponen yang penting dalam
pembentukan sikap. Menurut para ahli mengatakan, bahwa sikap itu semata-mata
reflesi dari perasaan senang atau perasaan tidak senang terhadap objek sikap.
c) Perilaku ( Aspek konotatif )
Bila orang menyenangi sesuatu objek, maka ada kecenderungan orang akan
mendekati objek tersebut dan sebaliknya.
Sedangkan Sikap menurut
para Ahli
dapat dilihat sebagai berikut:
1. Menurut
Sarnoff (dalam Sarwono, 2000)
mengidentifikasikan sikap sebagai kesediaan
untuk bereaksi (disposition to react)
secara positif (ravorably) atau secara negatif (untavorably)
terhadap obyek – obyek tertentu.
2. D.Krech
dan R.S Crutchfield (dalam Sears, 1999)
berpendapat
bahwa sikap sebagai organisasi yang bersifat menetap dari proses motivasional ,
emosional, perseptual, dan kognitif mengenai aspek dunia individu.
3. La
Pierre (dalam Azwar, 2003)
mendefinisikan sikap sebagai
suatu pola perilaku , tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah
respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan.
4.
Soetarno (1994)
sikap adalah pandangan atau
perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu.
Sikap senantiasa diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek.
Sikap diarahkan kepada benda-benda, orang, peritiwa, pandangan, lembaga, norma
dan lain-lain.
5. Menunit
G.W Alport dalam (Tri Rusmi Widayatun, 1999 :218)
sikap adalah kesiapan
seseorang untuk bertindak.
6. Tri
Rusmi Widayatun
memberikan pengertian sikap
adalah “keadaan mental dan syaraf dari kesiapan, yang diatur melalui pengalaman
yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah terhadap respon individu pada
semua obyek dan situasi yang berkaitan dengannya.
7. Jalaluddin
Rakhmat ( 1992 : 39 )
mengemukakan lima pengertian
sikap, yaitu:
Ø sikap adalah kecenderungan
bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide,
situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi merupakan kecenderungan untuk
berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh
berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok.
Ø sikap mempunyai daya
penolong atau motivasi. Sikap bukan sekedar rekaman masa lalu, tetapi juga
menentukan apakah orang harus pro atau kontra terhadap sesuatu; menentukan apa
yang disukai, diharapkan, dan diinginkan,mengesampingkan apa yang tidak
diinginkan, apa yang harus dihindari.
Ø sikap lebih menetap.
Berbagai studi menunjukkan sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang
mengalami pembahan.
Ø sikap mengandung aspek evaluatif: artinya
mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Ø sikap timbul dari
pengalaman: tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena
itu sikap dapat diperteguh atau diubah.
8. Sri
Utami Rahayuningsih (2008) Sikap (Attitude) adalah
Ø Berorientasi kepada respon :
: sikap adalah suatu bentuk dari perasaan, yaitu perasaan mendukung atau
memihak (favourable) maupun perasaan tidak mendukung (Unfavourable) pada suatu
objek.
Ø Berorientasi kepada kesiapan
respon : sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan
cara-cara tertentu, apabila dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki
adanya respon suatu pola perilaku, tendenasi atau kesiapan antisipatif untuk
menyesuaikan diri dari situasi sosial yang telah terkondisikan.
Ø Berorientasi kepada skema
triadic : sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif, dan
konatif yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku
terhadap suatu objek di lingkungan sekitarnya.
Ø Thurstone
memandang sikap sebagai suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif
maupun negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang
posistif, yaitu yang afeksi senang, sedangkan afeksi negative adalah afeksi
yang tidak menyenangkan.
Ø Sikap
merupakan organisasi pendapat, keyakinan seeorang mengenai objek atau situasi
yang relative ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan
dasar pada kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam
cara yang tertentu yang dipilihnya
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak
atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi
obyek situasi atau kondisi di lingkungan sekitarnya. Selain itu sikap juga
memberikan kesiapan untuk merespon yang sifatnya positif atau negatif terhadap
obyek atau situasi.
2.2 Domain Sikap
1. Pengertian Domain Sikap
Yaitu komponen
konatif (kecenderungan berperilaku) dapat diketahui melalui respons subjek yang
berkenaan dengan objek sikap. Respons yang dimaksud dapat berupa tindakan atau
perbuatan yang dapat diamati dan dapat berupa intensi atau niat untuk melakukan
perbuatan tertentu sehubungan dengan objek sikap.
Intensi
merupkan predisposisi atau kesiapan untuk bertindak terhadap objek sikap. Jika
orang mengenali dan memiliki pengetahuan yang luas tentang objek sikap yang
disertai dengan perasaan positif mengenai kognisisnya, maka ia akan cenderung
mendekati (approach) objek sikap tersebut,
misalnya dengan memperlihatkan dukungan,
memberi bantuan, dan menjadi tim sukses bagi tokoh partai yang disukainya.
Sebaliknya, bila orang memiliki anggapan, pengetahuan, dan keyakinan negatif
yang disertai dengan perasaan tidak senang terhadap objek sikap, maka ia
cenderung “menjauhinya”. Artinya ia akan menentang, menolak, dan menghindar dari objek
tersebut. Apabila orang beranggapan negativ terhadap ideologi suatu partai
politik serta merasa tidak senang dengan perilaku pimpinan dan anggota partai
tersebut, ia akan menghindari kampanye yang dilakukan partai tersebut dan tidak
ingin terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang ada kaitannya dengan partai
tersebut.
Dalam contoh yang
kedua ada dua macam sikap terhadap uang
pemberian Bapak Dulkoming (objek sikap). Yang pertama adalah sikap yang positif
(Bapak Kepala Sekolah, Pak Darwis dan Bu Lastri) dan yang kedua adalah sikap
negatif (Fat dan Noel). Kedua macam sikap itu didasarkan oleh pengetahuan dan
kepercayaan (domain atau bagian kognitif) yang berbeda, sehingga menimbulkan
perasaan afektif) dan kecenderungan bertingkah laku konatif) yang berbeda
pula. Pak Kepala Sekolah dan kawan-kawan yakin bahwa pemberian itu bukan suap
melainkan sekadar ucapan terima kasih dan masalah pergaulan serta sopan santun.
Karena itu, mereka senang saja menerima uang itu dan akhirnya mereka mau
menerima uang itu. Sebaliknya, menurut Fat dan suaminya, uang itu adalah suap,
melanggar aturan, dan melanggar agama. Karena itu, perasaan yang timbul adalah
tidak senang, gelisah, dan mereka tidak mau menerima uang tersebut.
Jadi,
sikap itu mengandung 3 bagian (domain). Ketiga sikap itu adalah kognitif,
afektif, dan konatif (Allport, 1954a; Hilgard, 1980; McGuire, 1969; Ajzen,
1988). Myers (1996) memberikan istilah yang lebih mudah diingat, yaitu
(perasaan), Behavior(perilaku), dan Cognitive(kesadaran) yang disingkat: ABC.
Karena ketiga domain itu saling terkait erat, timbul teori bahwa jika kita
dapat mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap suatu objek sikap
tertentu, kita akan tahu pula kecenderungan perilakunya. Dengan demikian, kita
dapat meramalkan perilaku dari sikap yang dampaknya besar sekali dalam
penerapan psikologi, karena dapat dimanfaatkan baik dalam hubungan
antarpribadi, dalam konseling maupun hubungan antarkelompok.
Namun,
dalam kenyataan tidak selalu suatu sikap tertentu berakhir dengan perilaku yang
sesuai dengan sikap tersebut. Pak Kepala Sekolahdanteman-temannyamemangberperilaku
(menerima uang) yang sesuai dengan sikapnya (positif). Akan tetapi, Fat dan
Noel, akhirnya menerima uang itu juga walaupun tidak sesuai dengan sikapnya
(negatif). Dalam contoh sehari-hari sering kita alami ketidaksesuaian antara
sikap dan perilaku seperti itu. Orang yang suka sekali makan nasi goreng (sikap
positif) pada saat-saat tertentu tidak mau makan nasi goreng (misalnya, sudah
kenyang, karena terlalu mahal, teman-temannya lebih menyukai makanan lain dan
sebagainya). Sebaliknya, orang yang sudah sangat malas ke sekolah (sikap
negatif) tetap saja bersekolah terus (karena disuruh orangtua, tidak tahu apa
yang harus dilakukan kalau tidak sekolah, diancam guru, dan sebagainya).
Menurut
Triandis (1982), ketidaksesuaian antara perilaku dan sikap disebabkan karena
ada 40 faktor (selain sikap) yang terpisah-pisah yang mempengaruhi perilaku.
Karena itu, para pakar psikologi sosial mulai menyelidiki sampai seberapa jauh
sikap dapat meramalkan perilaku
Ketiga
komponen sikap tersebut saling terkait erat, timbul teori bahwa jika kita dapat
mengetahui kognisi dan perasaan seseorang terhadap suatu objek sikap tertentu,
kita akan tahu pula kecenderungan perilakunya. Dengan demikian, kita dapat
meramalkan perilaku dari sikap yang dampaknya besar sekali dalam penerapan
psikologi, karena dapat dimanfaatkan baik dalam hubungan antarpribadi dalam
konseling, maupun hubungan antar kelompok.
Terbentuknya suatu perilaku baru,
terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti subjek tahu
lebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya. Oleh
karena itu menimbulkan pengetahuan baru pada subjek tersebut dan selanjutnya
menimbulkan respons batin dalam bentuk sikap si subjek terhadap objek yang
diketahui itu. Pada akhirnya, rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan
disadari sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu
berupa tindakan (action) terhadap atau sehubungan dengan stimulus atau
objek tadi. Akan tetapi, di dalam kenyataan stimulus yang diterima oleh subjek
dapat langsung menimbulkan tindakan, artinya, seseorang dapat bertindak atau
berperilaku baru dengan mengetahui terlebih dahulu terhadap makna stimulus yang
diterimanya. Dengan kata lain, tindakan (practice) seseorang tidak
harus disadari oleh pengetahuan atau sikap..
2.3 Kesesuaian Antara Sikap dan Perilaku
Menurut
Triandis(1982), ketidaksesuaian antara perilku dan sikap disebabkan karena
40faktor (selain sikap) yang terpisah-pisahyang mempengaruhi perilaku. Temuan
ini tidaklah baru karena adanya ke tidaksesuaiian
antara sikap dan perilaku sudah diketahui para pakar sejak lama.
1.
Sikap sesuai dengan perilaku
1. perilakuyang spesifik
2. potensi sikap
3. penonjolan sikap
2.
Perilaku dapat mempengaruhi sikap
a.
Metode foot-in-the door Effect Salah
satu metode terkenal bagaimana perilaku dapat mempengaruhi sikap adalah yang di
kenal sebagai The foot-in-the door Effect. Studi tentang pengaruh interpersonal
telah menjelaskan bahwa manusia lebih cenderung untuk menyetujui atau menerima
permintaan yang besar jika sebelumnya mereka telah setuju pada permintaanyang
besar jika sebelumnya mereka telah setuju pada permintaan yang lebih kecil dan
berhubungan. Kecenderungan ini , the foot-in-the door Effect , terjadi karena
kesepakatan pertama (perilaku) berujung pada pembentukan sikap yang lebih bisa
di terima, yang nantinya meningkatkan kesesuaian dengan permintaan kedua.
b.
Metode The Low-ball Technique Salah
satu turunan teknik the foot in the door adalah the low ball technique(tehnik
bola pendek). Tehnik ini merupakan salah satu strategi persuasive yang sering
digunakan seorang penjual. Tehnik ini sering di pakai oleh para dealer mobil.
3.
Komunikasi persuasif
komponen
komunikasi persuasive yang mempengaruhi sikap:
1. SUMBER
Terdapat tiga macam daya tarik yang membuat
seseorang cenderung disukai dan lebih persuasive, yaitu sebagai berikut.:
Penampilan fisik
Power ( kekuasaan)
Kesamaan dengan penerima pesan
2. PESAN
a. Posisi
1)
Penerimaan dan penolakan.
2)
Kredibilitas dan perbedaan (credibility and Discrepancy).
b. Isi pesan
1)
kesederhadaan
2) daya
tarik emosional
3)
kepentingan pribadi
4) penyajian
Ada beberapa dampak dari penyajian pesan, yaitu
sebagai berikut.:
a) Primacy and recency effect
b) The Sleeper Effect
c) Keseimbangan.
c.
Channel/saluran
1. media
massa
2. kontak
personal
3. two step
communication (komunikasi dua tahap).
3. AUDIENCE
a. attention (perhatian)
b. karaktersitik personal
Beberapa hal dari karakteristik pribadi yang
mempengaruhi individu dalam menerima pesan, yaitu sebagai berikut:
- Umur
- Kebutuhan
4. EFEK
SITUASIONAL
a. proses
yang mempengaruhi sikap
1. Messege
density (kerapatan pesan)
2. Repetisi
(penglangan)
3.
Distraction(gangguan /pengalihperhatian)
b.
teori-teori perubahan sikap
1. The
elaboration-likelihood model
- Sentral
processing(pemrosesan pada hal inti atau pusat)
- Peripheral
processing (pemrosessan pada hal pinggir)
2.
Self-justification
- dissonance reduction
- the power of commitment
Sikap yang dilakukan oleh setiap
individu sangatlah berpengaruh terhadap perilaku individu. Pengaruh tersebut
terletak pada individu sendiri terhadap respon yang ditangkap ,kecenderungan
individu untuk melakukan tindakan dipengaruhi oleh berbagai faktor bawaan dan
lingkungan sehingga menimbulkan tingkah laku.
Ketidaksesuaian antara sikap dan
perilaku sudah diketahui sejak lama yaitu bahwa kecurangan dalam hubungan
dengan situasi tertentu dan belum tentu berkorelasi dengan kecendrungan dalam
hubungan dengan situasi yang lain. Misalnya membuang sampah juga diketahui
bahwa sikap terhadap membuang sampah dikalangan sejumlah responden dijakarta
berkorelasi positif dengan taraf pendidikan yaitu makin tinggi tingkat
pendidikan maka makin positif sikap pada membuang sampah secara benar.
4.
Terbentuknya sikap
Sikap sering
kali diperoleh dari orang lain melalui proses pembelajaran sosial. Pembentukan sikap seseorang
dapat dibedakan menjadi 5 macam yaitu:
Classical Conditioning.
Bentuk dasar pembelajaran dimana
satu stimulus, yang awalnya netral, menjadi memiliki kapasitas untuk
membangkitkan reaksi melalui pemasangan yang berulangkali dengan stimulus lain.
dengan kata lain stimulus menjadi sebuah tanda bagi kehadiran atau terjadinya
stimulus yang lain. sebagai contoh seorang anak kecil melihat ibunya bermuka
masam dan menunjukkan tanda-tanda tidak suka setia kali ibunya menghadapi
seseorang dari suku bangsa tertentu. Awalnya anak tersebut bersikap netral
terhadap anggota suku bangsa tersebut dan karakteristik fisiknya. Setelah
karakteristik ini dipasangkan dengan reaksi emosional negatif ibu beberapa
kali, terjadilah classical conditioning, sehingga anak menjadi bereaksi gatif
terhadap stimulus dari kelompok suku bangsa tersebut.
Instrumental
Conditioning.
Bentuk dasar dari pembelajaran dimana respons yang menimbulkan
hasil positif atau mengurangi hasil negatif diperkuat. Tingkah laku yang
diikuti hasil positif (seperti pemberian hadiah) akan membentuk penguatan,
hasil positif diperkuat dan cenderung akan diulangi. Sebaliknya, tingkah laku
yang diikuti hasil negatif (seperti hukuman) akan semakin lemah dan berkurang.
Pembelajaran dari Observasi.
Salah satu bentuk dasar belajar dimana individu
mempelajari tingkah laku atau pemikiran baru melalui observasi terhadap orang
lain. berbicara mengenai pembentukan sikap, pembelajaran melalui observasi
memainkan peran yang penting. Dalam banyak kasus, anak mendengar orang tua
mereka mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak mereka dengar,atau
memperhatikan orang tua mereka saat melakukan sesuatu yang dilarang oleh orang
tua untuk dilakukan oleh seorang anak.
Perbandingan
Sosial.
Proses dimana kita membandingkan
diri kita dengan orang lain untuk menetukan apakah pandangan kita terhadadap
kenyataan sosial betul atau salah. Dalam banyak kasus, sikap terbentuk dari
informasi sosial yang berasal dari orang lain(apa yang kita lihat mereka
katakana atau lakukan), dan keinginan kita sendiri untuk menjadikan serupa
dengan orang yang kita sukai atau hormati.
Faktor Genetik.
Penelitian yang dilakukan terhadap kembar identik
menunjukkan bahwa sikap juga dipengaruhi oleh faktor genetik, walaupun besarnya
pengaruh tersebut bervariasi untuk sikap yang berbeda. Sikap dari kembar
identik yang dipisahkan di awal kehidupanya berkorelasi lebih tinggi daripada
kembar nonidentik atau orang lain yang tidak memiliki hubungan keluarga.
Penemuan ini menunjukkan bukti bahwa pandangan yang menyatakan sikap
dipengaruhi oleh faktor oleh faktor genetic adalah benar dalam batas-batas
tertentu. Sebagian orang berpendapat bahwa ada faktor-faktor genetik yang
berpengaruh pada terbentuknya sikap. Terbentuk sikap dari pengalaman, melalui
proses belajar. Pasangan ini mempunyai dampak terapan yaitu bahwa berdasarkan
pandangan ini dapat disusun berbagai upaya untuk mengubah sikap seseorang.
Pengubahan seseorang atau masyarakat
dan sika tertentu kesikap lainnya terhadap suatu objek. Perubahan sikap ini
akan mengubah pula perilaku sehingga terjadi perilku-perilaku yang lebih sesuai
dengan yang diharapkan. Proses belajar tersebut dapat terjadi melalui proses
kondisioning atau melalui proses belajar sosial atau karena pengalaman, dan proses
belajar Bandura yaitu melalui peniruan dari perilaku metode proses belajar.
2.4 Meningkatkan Prakiraan perilaku
dari Sikap
Hubungan
antara sikap dan perilaku timbul dari berbagai kritik. Upaya untuk meramalkan
atau memprakirakan perilaku tetap saja dianggap penting dalam psikologi sosial,
karena lebih efisien daripada harus melakukan pengamatan langsung di lapangan.
Misalnya, meramalkan atau memprakirakan perilaku dalam hal keluarga berencana.
Belum tentu dapat meramalkan apakah seseorang akan memakai kontrasepsi, tetapi
sikap terhadap kontrasepsi dapat meramalkan pemakaian kontrasepsi (Morrison).
Walaupun
timbul berbagai kritik tentang sikap dan hubungannya dengan perilaku, upaya
untuk meramalkan atau memprakirakan perilaku tetap saja dianggap penting dalam
psikologi sosial, karena lebih efisien daripada harus melakukan pengamatan
langsung di lapangan. Karena itu, beberapa pakar berusaha untuk mengembangkan
teori dan metode untuk meningkatkan day a prakiraan dari sikap tersebut.
Fishbein dan
Ajzen (1974) mengatakan bahwa sikap yang umum, misalnya terhadap agama, memang
tidak dapat meramalkan apakah seseorang akan ke gereja pada suatu hari Minggu,
Dapat saja ia tidak datang karena berbagai alasan (hujan, sakit, ketiduran,
tidak ada kendaraan dan sebagainya). Akan tetapi, sikap umum terhadap agama ini
dapat meramalkan seberapa sering seseorang itu akan ke gereja dalam suatu kurun
waktu tertentu. Makin positif sikapnya, makin sering ia ke gereja. Demikian
pula. orang yang pada suatu waktu tidak mau makan nasi goreng, jika sikapnya
positif (suka), pada kesempatan lain ia akan lebih sering memilih nasi goreng
daripada makanan yang lain. Dengan demiktan, kata Fishbein dan Ajzen, kita
tidak dapat melihat sikap dari satu perilaku atau peristiwa saja, melainkan
kita harus melihatnya dari rata-rata timbulnya perilaku tersebut pada
peristiwa-peristiwa sejenis dalam satu kurun waktu tertentu. Dengan demikian,
juga dalam contoh kasus di awal bab ini, kita tidak dapat menyimpulkan sikap
Fat dan Noel hanya karena akhirnya ia menerima uang tersebut
Selain itu, Fishbein (1974) dan
Ajzen (1982) mengatakanbahwa sulit untuk mengukur sikap yang umum, padahal
perilakunya khusus. Sebaliknya, sulit untuk meprakirakan perilaku yang khusus
dari sikap yang umum. Misalnya, sikap yang negatif terhadap orang Cina di
kalangan pemilik hotel, restoran, dan tempat-tempat umum dalam percobaan La
Piere, tidak bisa untuk memprakirakan perilaku menerima tamu Cina pada saat
tamu Cina itu datang ditemani oleh La Piere yang berkulit putih. Dalam contoh
lain, sikap yang positif terhadap kesehatan tidak dapat untuk memprakirakan
kebiasaan joging atau diet.
Di pihak lain, sikap terhadap suatu hal yang khusus
dapat meramalkan atau memprakirakan perilaku dalam hal yang khusus itu pula.
Misalnya, sikap terhadap keluarga berencana belum tentu dapat meramalkan apakah
seseorang akan memakai kontrasepsi, tetapi sikap terhadap kontrasepsi
dapatmeramalkan pemakaian kontrasepsi (Morrison, 1989). Demikian pula sikap
terhadap daur ulang (bukan sikap terhadap kebersihan) dapat meramalkan perilaku
daur ulang (Oskamp, 1991).
Selanjutnya, ditemukan pula bahwa
sikap dapat menentukan perilaku jika ia muncul atau dimunculkan dalam kesadaran
seseorang. Dalam kebanyakan peristiwa memang kita tidak terlalu peduli kepada
sikap kita sendiri. Misalnya, kalau seorang istri bertanya kepada suaminya,
“Bang, bagaimana selendangku, sudah cocok dengan kebayaku atau tidak?”, sang
suami akan menjawab saja, “Sudah” agar mereka dapat segera berangkat ke resepsi
perkawinan (walaupun mungkin suami itu kurang suka dengan selendang istrinya).
Atau, ketika Anda sedang asyik mengobrol dengan teman-teman di restoran,
tiba-tiba datang pelayan dan menanyakan, “Bagaimana makanannya, enak?”, maka
Anda jawab saja, “Oh, enak sekali”, agar Anda bisa segera melanjutkan obrolan
Anda (walaupun sesungguhnya Anda kurang menyetujui makanan itu). Perilaku
seperti ini sering diperbuat orang karena dapat menghemat energi dan efisien.
Namun, kalau sikap itu sempat dimunculkan dalam kesadaran, perilaku orang akan
berbeda.
Untuk membuktikan hal itu, Snyder
& Swann (1976) mengadakan penelitian dengan 120 mahasiswa Universitas
Minnesota. Mereka diminta untuk menjadi “juri” dalam suatu kasus diskriminasi
ual. Sebagian diminta langsung memberi pendapatnya setelah membaca kasus itu,
sedangkan sebagian yang lain diberi waktu beberapa menit untuk mengorganisir
sikapnya sebelum memberikan jawaban. Ternyata yang diberi waktu memberi jawaban
yang lebih konsisten dengan sikapnya daripada yang tidak diberi waktu.
Sebuah eksperimen lain dilakukan oleh Diener &
Wallborn (1976). Sejumlah mahasiswa diminta pendapatnya tentang menyontek.
Semuanya mengatakan bahwa menyontek itu jelek (sikap negatif). Kemudian, mereka
diminta mengerjakan sebuah tes (seolah-olah tes IQ), kemudian ditinggalkan
begitu saja (tidak diawasi, tetapi tetap diamati), ternyata 71% menyontek. Akan
tetapi, ketika mereka diminta untuk mengerjakan tes lagi di sebuah ruangan yang
dipasangi cermin-cermin di dindingnya (sehingga mereka dapat melihat bayangan
mereka sendiri), yang menyontek tinggal 7%.
Lebih kukuhnya hubungan antara sikap
dan perilaku dipengaruhi oleh bagaimana caranya sikap itu masuk ke dalam
kesadaran. Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan oleh Regan & Fazio
(1977) terhadap sejumlah mahasiswa tahun pertama di Universitas Cornell
didapatkan bahwa semua mahasiswa yang tinggal dipemukiman mahasiswa mengeluh
tentang kondisi tempat tinggal yang jelek, pelayanan yang tidak memuaskan, dan
sebagainya. Akan tetapi, ketika diminta untuk melakukan tindakan nyata seperti
menandatangani petisi, menyebarkan petisi atau ikut demonstrasi, hanya
mahasiswa yang tinggal di asrama-asrama yang sungguhsungguh buruk kondisinya
yang mau ikut terlibat, sementara mahasiswa yang ditempatkan di tempat tinggal
yang lebih baik tidak mau melibatkan diri.
2.5 Pengukuran
Sikap
Salah-satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap
dan perilaku manusia adalah masalah pengungkapan (assement) atau pengukuran (measurement) sikap.
Adapun karakteristik (dimensi) sikap yaitu arah, intensitas, keluasan,
konsistensi, dan spontanitasnya. Penjelasannya sebagai berikut:
Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua
arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau
tidak mendukung, apakah memihak atau tidak memihak terhadap sesuatu seseorang
sebagai objek.
Sikap memiliki intensitas, artinya kedalaman atau
kekuatan sikap terhadap sesuatu belum tentu sama walaupun arahnya mungkin tidak
berbeda.
Sikap mempunyai keluasaan,maksudnya kesetujuan atu
ketidaksetujuan terhadap suatu obyek sikap dapat mengenai hanya yang sedikit
dan sangat spesifik akan tetapi dapat mencakup banyak sekali aspek yang ada
dalam obyek sikap.
Sikap juga memiliki konsistensi, maksudnya kesesuaian
antara pernyataan sikap yang dikemukakan dengan responsnya terhadap objek sikap
tersebut.
Sikap yang memiliki spontanitas, artinya menyangkut sejauhmana
kesiapan individu untuk menyatakan sikapnya secara spontan.
Mengukur suatu sikap bukanlah suatu pekejaan yang mudah. Seperti yang telah
dipaparkan, salah satu kesulitan dalam mempelajari psikologi adalah karena
objek yang dipelajari itu tidak menampak, tidak dapat langsung dilihat, tidak
dapat langsung dipegang, yang dapat diamati adalah manifestasi dari kehidupan
psikis, hal yang demikian dihadapi pula dalam sikap.
Orang dapat mengukur sesuatu dengan alat ukur yang telah ditetapkan
standarnya, jadi telah adanya standar atau patokan tertentu mengenai alat ukur
tersebut. Misal pengukuran panjang sesuatu benda dengan menggunakan alat
meteran. Kalau seseorang mengukur sebuah benda – misal – meja hasilnya satu meter, maka orang lain
bila mengukur meja tersebut dengan meteran, hasilnya juga satu meter.
Dari contoh tersebut, dapat dikemukakan bahwa dalam mengukur sesuatu, orang
dapat mengukur dengan alat ukur yang belum distandarisasi, tetapi juga dapat
mengukur dengan alat yang telah distandarisasi. Pengukuran dengan alat ukur
yang belum ditsandarisasi hasilnya akan mengalami variasi, hasil pengukuran
seseorang mungkin akan berbeda dengan hasil pengukuran orang lain. Tetapi
sebaliknya bila orang menggunakan alat ukur yang telah distandarisasi, hasil
pengukuran yang dicapai akan sama. Karena itu dalam pengukuran sesuatu, agar
menunjukkan hasil yang baik, perlu digunakan alat ukur yang telah
distandarisasi. Demikian pula dalam hal mengukur sikap, untuk mendapatkan hasil
yang baik perlu digunakan alat yang telah dibakukan atau telah distandarisasi.
1. Variasi hasil pengukuran
Variasi hasil pengukuran tidak hanya ditimbulkan
karena alat ukur yang digunakan, tetapi juga dapat bersumber pada faktor-faktor
lain, yaitu:
a.
Keadaan objek yang diukur
Merupakan
hal yang ideal bila hasil pengukuran yang diperoleh itu benar-benar
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya dari objek yang diukur. Dalam ilmu
sosial – demikan pula dalam ilmu psikologi – dapat dikatakan bahwa belum
terdapat alat ukur yang dapat dengan sempurna mengungkap atau mengukur secara
murni hanya kepada apa yang ingin diukur semata-mata, sedangkan faktor lain
tidak turut terungkap dengannya. Karena itu koefisian validitas alat-alat ukur
gejala-gejala sosial (termasuk di dalamnya psikologi), hampir tidak ada yang
mencapai r setinggi +1,000. Dengan validitas sebesar +1,000 ini berarti alat
ukur telah mengukur faktor atau faktor-faktor yang akan diukur semata-mata
(Hadi, 1971).
b.
Situasi pengukuran
Pengukuran
sesuatu dalam situasi yang berbeda, juga dapat menimbulkan hasil pengukuran
yang berbeda. Mengukur sebatang tembaga dengan temperatur yang berbeda, akan
diperoleh hasil pengukuran yang berbeda, sekalipun benda dan alat ukurnya sama.
Demikian pula mengukur sikap seseorang dalam situasi yang berbeda, dapat menghasilkan
hasil pengukuran yang berbeda pula.
c.
Alat ukur yang digunakan
Variasi
hasil pengukuran dapat disebabkan karena alat ukur yang digunakan. Misal bila
alat ukur dibuat dari bahan yang berbeda, kemungkinan hasil pengukuran juga
akan berbeda.
d.
Penyelenggaraan pengukuran
Cara
penyelenggaraan pengukuran juga dapat menghasilkan hasil pengukuran berbeda.
Demikian juga bila seorang pengukur kurang menguasai alat ukur yang digunakan,
maka hal ini akan dapat menimbulkan hasil pengukuran yang berbeda-beda, karena
kemungkina cara penyelenggaraannya berbeda-beda.
e.
Pembacaan dan atau penilaian
hasil pengukuran
Seorang
pengukur yang sedang ngantuk mungkin mengalami salah baca. Seorang tester yang
sudah terlalu lelah mungkin melakukan salah periksa. Seorang coder hasil-hasil
angket mungkin salah letak dalam memberikan kode-kode. Semua keadaan itu akan
menaikkan atau menurunkan hasil-hasil pengukuran dari keadaan yang sesungguhnya.Bila
seorang pengukur telah mengantuk atau telah lelah, karena bekerja melampaui kemampuannya,
maka hal ini akan dapat pula merupakan sumber dalam variasi hasil pengukuran.
2. Alat ukur yang baik
Alat ukur
itu disebut baik, bila alat ukur itu valid dan reliabel. Karena itu hal
tersebut perlu mendapatkan perhatian untuk memperoleh alat ukur yang baik.
Dalam hal validitas alat ukur mencakup kejituan dan ketelitian alat ukur yang
bersangkutan. Alat ukur yang jitu itu, yaitu bila alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang akan di ukur, jadi alat ukur itu tidak mengukur hal-hal yang
lain.
Suatu alat
yang baik itu harus reliabel atau andal, artinya alat itu harus dapat
memberikan hasil pengukuran yang tetap atau stabil. Bila suatu benda pada suatu
waktu diukur menunjukkan panjang 2 meter misalnya, maka pada waktu lain bila
benda itu diukur dengan alat ukur itu kembali, hasilnya juga menunjukkan 2
meter. Tetapi karena dalam psikologi yang menjadi subjek adalah makhluk hidup,
yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, maka akan sulit untuk
memperoleh hasil pengukuran yang tepat sama seratus persen. Karena itu dalam
hal ini ada batas-batas tertentu di mana hasil itu dapat dianggap relatif sama
(hal ini dibicarakan atau ditunjukkan dalam pengolahan statistik).
3. Cara pengukuran sikap
Dalam
pengukuran sikap ada beberapa macam cara, yang pada garis besarnya dapat
dibedakan secara langsung dan secara tidak langsung. Secara langsung, yaitu
subjek secara langsung dimintai pendapat bagaimana sikapnya terhadap sesuatu
masalah atau hal yang dihadapkan kepadanya. Dalam hal ini dapat dibedakan
langsung yang tidak berstuktur dan langsung yang berstruktur. Secara langsung
yang tidak berstruktur misalnya mengukur sikap dengan wawancara bebas (free interview), dengan pengamatan
langsung atau dengan survei (misal public
opinion survey). Sedangkan cara langsung yang bersturktur, yaitu pengukuran
sikap dengan menggunakan pertanyaan-pertanyyan yang telah disusun sedemikan
rupa dalam suatu alat yang telah ditentukan, dan langsung diberikan kepada
subjek yang diteliti. Misal pengukuran sikap dengan skala Bogardus, Thurstone,
dan Likert.
Sedangkan sikap dengan secara tidak langsung ialah pengukruan sikap dengan
mengguanakan tes. Dalam hal ini dapat dibedakan antara tes yang proyektif dan
yang non-proyektif.
4. Pengukuran sikap secara langsung tak
bersturktur
Sebuah contoh penelitian yang dikemukakan oleh
Buchanan dan Cantril dengan tema “How
nations see each other” dengan public
opinion surveys, sikap terhadap masalah hidup secara damai, salah satu
butirnya berbunyi “Do you belief that it
will be possible for all countries to live together at peach with each other”.
Penelitain ini dilaksanakn di sembilan negara pada tahun 1948.
Dari contoh tersebut dapat dikemukakan bahwa
terhadap masalah yang sama, terdapat perbedaan sikap yang diambil untuk
menanggapi masalah tersebut. Masing-masing bangsa atau golongan mempunyai
pandangan atau sikap yang berbeda-beda.
5. Pengukuran sikap secara
langsung yang berstruktur
1. Pengukuran sikap model Borgadus
Pengukuran
sikap model Borgadus lebih dikenal dengan pengukuran sikap dengan skala
Borgadus. Borgadus dalam mengukur sikap menggunakan suatu skala. Apa yang
dikemukakan oleh Borgadus berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Park, yang
menurutnya bahwa dalam suatu kelompok ada intensitas hubungan yang berbeda satu
dengan yang lain di antara para anggotanya, demikan pula adanya perbedaan
intensitas hubungan antara kelompok dengan kelompok yang lain. Pengukuran sikap
model Borgadus adalah menyangkut jarak sosial, yaitu jarak sosial dari satu
golongan atau kelompok terhadap golongan atau kelompok lain.
2. Pengukuran sikap model Thurstone
Penelitian sikap Thurstone juga menggunakan skala.
Apa yang dikemukakan oleh Thurstone mempunyai corak lain dengan apa yang
dikemukakan oleg Borgadus. Dalam skala Thurstone digunakan
pernyataan-pernyataan yang disusun sedemikian rupa hingga merupakan rentangan (range) dari yang favorable sampai yang paling unfavorable.
Pernyataan-pernyataan itu disampaikan kepada subjek dalam suatu formulir (form). Masing-masing pernyataan dalam
skala Thurstone telah mempunyai nilai skala sendiri-sendiri. Nilai skala (scale value) tersebut bergerak dari 0,0
(yang mempunyai ekstrim bawah) sampai dengan 11,0 (yang mempunyai ekstrim
atas).
Dalam perintah cara mengerjakan atau cara menjawab
subjek terhadap pernyataan-pernyataan tersebut, subjek disuruh memberikan tanda
cek (tanda yang menyatakan betul) pada pernyataan-pernyataan yang mereka
setujui. Keadaan sikap seseorang terhadap objek sikap ditunjukkan oleh nilai
rata-rata dari nilai skala yang pernyataannya disetujui atau diterimanya.
3. Pengukuran sikap model Likert
Likert juga dikenal dengan pengukuran sikap skala
Likert, karena Likert dalam mengadakan pengukuran sikap juga menggunakan skala.
Skala Likert berbeda dengan skala Thurstone, skala Likert dikenal sebagai summated ratings method, sedangkan skala
Thurstone dikenal sebagai judgment method.
Dalam menciptakan alat ukur Likert juga menggunakan
pernyataan-pernyataan, dengan menggunakan lima alternatif jawabam atau
tanggapan atas pernyataan-pernyataan tersebut. Subjek yang diteliti disuruh
memilih salah satu dari lima alternatif jawaban yang disediakan. Lima
alternatif jawaban yang dikemukakan oleh Likert adalah:
-
Sangat setuju (stongly approve)
-
Sejutu (approve)
-
Tidak mempunyai pendapat (undecided)
-
Tidak sejutu (disapprove)
-
Sangat tidak setuju (strongly
disapprove)
6. Pengukuran sikap secara tidak langsung
Pengukuran sikap secara tidak langsung, yaitu
pengukuran sikap dengan menggunakan alat-alat tes, baik yang proyektif maupun
yang non-proyektif. Misal dengan tes Rorschach, TAT, dan dengan melalui
analisis yang cukup rumit, peneliti dapat mengetahui bagaimana sikap seseorang
terhadap keadaan sekitarnya. Pengukuran sikap secara tidak langsung ini begitu
komplek dan begitu rumit yang biasanya dibicarakan dalam rangka pembicaraan
mengenai tes.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian
Sikap Secara umum adalah perasaan, pikiran, dan
kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanen mengenal
aspek-aspek tertentu dalam lingkungannya. Komponen-komponen sikap adalah pengetahuan. perasaan-perasaan, dan
kecenderungan untuk bertindak.
Domain Sikap Yaitu komponen konatif
(kecenderungan berperilaku) dapat diketahui melalui respons subjek yang
berkenaan dengan objek sikap. Respons yang dimaksud dapat berupa tindakan atau
perbuatan yang dapat diamati dan dapat berupa intensi atau niat untuk melakukan
perbuatan tertentu sehubungan dengan objek sikap.
Domain sikap itu mengandung 3 bagian yaitu :
1.
Kognitif
2.
Afektif dan
3.
konatif
Kesesuaian
Antara Sikap dan Perilaku dapat dilihat melalui :
1.
Sikap sesuai dengan perilaku
2.
Perilaku dapat mempengaruhi sikap
3.
Komunikasi persuasif
4.
Terbentuknya sikap
Meningkatkan
prakiraan perilaku dari sikap atau meramalkan perilaku tetap saja
dianggap penting dalam psikologi sosial, karena lebih efisien daripada harus
melakukan pengamatan langsung di lapangan. Misalnya, meramalkan atau
memprakirakan perilaku dalam hal keluarga berencana. Belum tentu dapat meramalkan
apakah seseorang akan memakai kontrasepsi, tetapi sikap terhadap kontrasepsi
dapat meramalkan pemakaian kontrasepsi (Morrison).
Pengukuran Sikap
Untuk pengukuran
sikap yang baik dapat dilakukan seperti
1. Variasi hasil pengukuran
2. Alat ukur yang baik
3. Cara pengukuran sikap
4. Pengukuran sikap secara langsung tak
bersturktur
5. Pengukuran sikap secara
langsung yang berstruktur
6. Pengukuran sikap secara tidak
langsung
3.2 Saran
3.2 Saran
Dalam kehidupan sehari-hari kita harus Tetap menjaga sikap dan tingkah laku dengan baik,
sehingga dapat di terima dalam lingkungan kita dimana berada.
DAFTAR PUSTAKA
Hanurawan,
Fattah. 2001. Psikologi Sosial Suatu
Pengantar. Bandung : Rosada.
H. Djaali. 2008.
Psikologi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara Peplau.Anne.Letitia.
Sarwono,
Sarlito Wirawan. 2006. Teori-Teori
Psikologi Sosial. Jakarta. PT RajaGrafindo
Persada.
Sarwono Sarlito. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta :
Rajawali Pers
Shelley E. 2009. Psikologi Sosial Edisi Kedua Belas. Jakarta.
Kencana Prenada Media
Group.
Walgito, Bimo. 2003. Psikologi
Sosial. Yogyakarta : C.V Andi Offset.
Widyarini,Nilam.
2009. Kunci Pengembang Diri. Jakarta : Gramedia.
mungkin sekian dulu gan TERIMAH KASIH ATAS KUNJUNGANNYA.....
No comments:
Post a Comment