Sunday, 7 June 2015

makalah prasangka




Makalah

PRASANGKA





   





OLEH :
RISAL GUNAWAN
F1B314012



PROGRAM STUDI TEKNIK TAMBANG KONS REKAYASA SOSIAL TAMBANG
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015





KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada dosen yang telah memberikan bimbingannya kepada kami dan kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan. Oleh karena itu kami mengharapkan sumbangan pikiran, saran, dan kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Semoga dengan makalah yang sederhana ini dapat memenuhi harapan kita semua dan memberikan manfaat bagi pembaca, sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan. Terima kasih.



                                                                                          Kendari , 29 Mei 2015


                                                                                          Penulis










HALAMAN JUDUL
BAB 1          PENDAHULUAN
                        1.1       Latar Belakang
                        1.2`      Rumusan Masalah
                        1.3       Tujuan
                        1.4       Manfaat
BAB II         PEMBAHASAN
                        2.1       Pengertian Prasangka
                        2.2       Sumber-sumber prasangka
                        2.3       mengatasi prasangka                                                                        
BAB III       PENUTUP
                        3.1       Kesimpulan
                        3.2       Saran









  BAB I

PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Masalah Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa atau kelompok etnis dan tiap – tiap suku tersebut mempunyai kebudayaan dan sejarah perkembangannya masing – masing yang pada akhirnya mempengaruhi perilakunya termasuk didalam prasangka sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Lavine, (1977) yang menyatakan bahwa kebudayaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupannya.     Selanjutnya kebudayaan adalah cara manusia meneropong lingkungannya maka dari itu kebudayaan adalah hasil dari perilaku manusia dan kebudayaan juga membentuk serta menentukan perilaku manusia. Dengan demikian juga diartikan, bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh tiap – tiap suku bangsa yang ada diindonesia akan mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia termasuk didalamnya prasangka sosia.

1.2.RUMUSAN MASALAH
1.      Apa Pengertian Prasangka?
2.      Apa saja Sumber-Sumber Prasangka?
3.      Bagaimana cara Mengatasi Prasangka?

1.3.TUJUAN
1.      Untuk mengetahui pengertian Prasangka.
2.      Untuk mengetahui Sumber-Sumber Prasangka.
3.      Untuk mengetahui cara Mengatasi Prasangka.

1.4.MANFAAT
1.      Dapat mengetahui Pengertian Prasangka.
2.      Dapat mengetahui Sumber-Sumber Prasangka.
3.      Dapat mengetahui cara Mengetahui Prasangka.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian prasangka
Prasangka1 antar kelompok sering terjadi di Indonesia, khususnya para pelajar atau mahasiswa yang terjadi karena berbagai macam sebab, namun yang sering terjadi karena sebab-sebab yang sederhana/sepele (misal: saling pandang, saling ejek, dan lain sebagainya). Permasalahan tersebut muncul karena tidak ada penyelesaian, yang berkembang kemudianprasangka dan akhirnya timbulah konflik secara fisik (tawuran) diantara mereka yang tidak jarang menimbulkan korban harta maupun jiwa. Mahasiswa sebagai generasi penerus perjuangan
             Baron dan Byrne (1982) menyatakan bahwa prasangka ialah suatu sikap negative terhadap para anggota kelompok tertentu, yang semata-mata didasarkan pada keanggotaannya di kelompok itu. Prasangka sering diartikan sebagai sikap atau perilaku negatif terhadap suatu kelompok atau anggota suatu kelompok (Nelson, 2009). Dua implikasi yang menyertai apabila prasangka didefinisikan sebagai suatu sikap. Pertama, sikap adalah fungsi dari skema (kerangka berpikir untuk mengorganisasi, menginterpretasi, dan mengambil informasi. Oleh sebab itu individu yang berprasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu akan memproses informasi tentang kelompok tersebut berbeda bila dibandingkan memproses informasi kelompok lain. Kedua, prasangka sebagai
suatu sikap melibatkan perasaan negative atau emosi yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok yang diprasangkai. Anggota kelompok luar diasumsikan memiliki lebih bayak ciri sifat yang tidak diinginkan, dipersepsi lebih mirip satu sama lain (lebih homogen) dibanding para anggota kelompok sendiri, dan seringkali tidak disukai.

Lambert, 1995; Linville & Fischer, 1993). Mengapa seseorang selalu menaruh prasangka
kepada kelompok lain? Baron dan Byrne (1982) menjelaskan masalah ini:
1.      Teori Konflik Realistik menurut teori inimenyatakan bahwa prasangka berakar pada persaingan di antara kelompokkelompok sosial karena memperebutkan komoditas
atau kesempatan berharga.


2.      Teori Belajar Sosial yang menyatakan bahwa prasangka diperoleh melalui pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain dengan cara yang hampir sama dengan sikap-sikap lainnya.
3.       Teori Kategorisasi Sosial yang menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kategori terpisah: kelompok kita sendiri (“kita”) dan kelompok-kelompok lain (“mereka”).
           
      Diskriminasi dan rasialisme sebagai manifestasi dari prasangka di Amerika maupun di negara-negara lain saat ini telah hilang dari muka bumi, namun demikian muncul diskriminasi dan rasialisme dalam bentuk baru atau rasisme modern (Baron & Byrne, 1982). Demikian juga dengan keadaan di Indonesia, prasangka antar kelompok seringkali menimbulkan adanya konflik di tengah-tengah masyarakat. Konflik-konflik antar kelompok yang terjadi di Indonesia mulai dari skala kecil (tawuran antar pelajar atau mahasiswa) sampai dengan skala yang besar (konflik antar etnis/ras). Tawuran antar pelajar atau mahasiswa tidak hanya  terjadi di kota-kota besar di Indonesia, bahkan sampai di pelosok daerah. Peristiwa bentrokan antar mahasiswa di Universitas Tanjungpura diawali dengan tindakan brutal puluhan mahasiswa Fakultas Teknik yang merusak kendaraan dan membakar gedung milik Fakutas Isipol. Mahasiswa Teknik secara tiba-tiba melakukan penyerangan ke Fakultas Isipol sekitar pukul 16.30 WIB, Jumat (12/3/2010) Belum diketahui pasti apa maksud serangan dari mahasiswa Fakultas Teknik tersebut (Tribun News, 2009). Tawuran antara mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan mahasiswa YAI di Jalan Salemba Raya, Kamis (4/6/2009) malam. hampir dapat dikatakan terjadi setiap tahun (Detik News, 2009). Yogyakarta sebagai kota pelajar juga tidak mau ketinggalan, tawuran antara mahasiswa Fakultas ISIP dan Fakultas Teknologi Informasi UPN Veteran sendiri yang terjadi di Kampus pada tanggal 13 Oktober 2009 (Ask- Indonesia, 2009). Mahasiswa dari Fakultas Teknik serta Seni, Bahasa, dan Sastra Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (16/12/2009), juga terlibat tawuran (Liputan6, 2009).

Peristiwa-peristiwa amuk massa juga kembali menyeruak menjadi fenomena sosial yang mengkhawatirkan kehidupan bangsa Indonesia. Selama bulan April 2010, tercatat dua peristiwa kerusuhan besar antar antar kelompok, yaitu kerusuhan Priok (14 April


2010) dan kerusuhan karyawan PT Drydocks World. Walaupun memiliki kronologis yang berbeda, kedua kerusuhan di atas berangkat dari latar belakang yang sama, yaitu perasaan diskriminasi satu kelompok atas kelompok lain. Kerusuhan Priok dipicu oleh persepsi keliru masyarakat bahwa pemerintah melalui Satpol PP akan menggusur Makam Mbah Priok yang dikeramatkan (ANTARA, 2010). Sementara kerusuhan Drydocks World Batam disebabkan perasaan diskriminatif yang dialami para buruh Indonesia oleh para pekerja asing yang menjadi atasannya (ANTARA, 2010). Kasus-kasus lain juga menunjukkan indikasi yang serupa. Bentrok antara warga dengan polisi dan PTPN VII Sumatera Selatan menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dipicu oleh tindakan sewenang-wenang pihak polisi terhadap warga (ANTARA, 2009). Menurut Jusuf Kalla, semua kerusuhan horizontal yang terjadi di Indonesia seperti di Aceh, Ambon, dan Poso lebih disebabkan karena munculnya ketidakadilan di tengah masyarakat (ANTARA, 2010).
Satu kelompok masyarakat mempersepsi bahwa kelompok lain mendapatkan perlakuan yang lebih baik dengan cara yang  tidak dapat diterima. Hal inilah yang melahirkan prasangka antar kelompok. Sehingga, secara teoritis dapat disimpulkan bahwa akar kerusuhan antar kelompok di atas adalah munculnya perasaan deprivasi relatif pada salah satu kelompok massa. Dengan mempertimbangkan konteks  sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia yang sedang labil, deprivasi kelompok rentan muncul pada kelompokkelompok yang tidak dalam posisi aman, antara lain kaum miskin kota, para buruh, dan kelompok masyarakat yang secara sosial politik terabaikan.
 Pada kelompokkelompok tersebut, deprivasi relatif dapat terstimulasi oleh informasi-informasi yang diterima atapun dengan provokasi. Penelitian yang dilakukan oleh Pettigrew, Christ, WagnerMeertens, Dick, dan Zick, (2008) menunjukkan bahwa kondisi deprivasi relatif secara individual maupun kelompok berkorelasi secara signifikan terhadap prasangka. Deprivasi relatif adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh seseorang dimana ada kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Hal ini sesuai dengan beberapa definisi deprivasi relatif yang dikemukakan beberapa ahli. Merton dan Kitt (1950) memberi pengertian deprivasi adalah perasaan yang timbul karena adanya pengalaman timpang (inequality) dalam diri individu sebagai akibat adanya ketidak sesuaian antara harapan dengan apa yang diperoleh. Sedang Aberle (1962) menyatakan bahwa deprivasi relatif ialah perasaan seseorang yang timbul karena adanya kesenjangan

antara kenyataan dengan harapan individu. Runcimann (1966) menyatakan bahwa deprivasi relatif adalah perbedaan antara situasi yang diinginkan seseorang dengan situasi yang terjadi pada saat itu. Gurr (1975) mengartikan deprivasi relatif adalah persepsi seseorang terhadap adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, baik di lingkungan sosial maupun lingkungan fisik.
Deprivasi relatif (relative deprivation) dialami ketika orang menanggapi adanya jurang pemisah antara aspirasi mereka dengan peluang nyata, khususnya ketika mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan aneka situasi pembanding seperti situasi mereka di masa lalu atau situasi yang ada pada kelompok-kelompok pembanding. Persepsi ini dapat terjadi secara personal maupun kelompok. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya deprivasi relatif pada seseorang. Dari telaah teori secara umum dapat dikatakan bahwa deprivasi relative terjadi karena adanya ketidak adilan sosial yang dialami oleh seseorang. Hasil penelitian Faturochman (1998) menyatakan bahwa simptom deprivasi relatif berkaitan dengan rasa ketidak adilan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Gurney dan Tierney (1982) yang menyatakan gerakan sosial muncul ketika orang merasa diabaikan atau tidak diperlakukan selayaknya, relative dibandingkan dengan perlakuan terhadap orang lain atau bagaimana mereka merasa seharusnya diperlakukan. Dari uraian di atas, maka tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh deprivasi relatif terhadap prasangka antar kelompok.
     Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu. Menurut David O. Sears dan kawan-kawan (1991), prasangka sosial adalah penilaian terhadap kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial ditujukan pada orang atau kelompok orang yang berbeda dengannya atau kelompoknya. Prasangka sosial memiliki kualitas suka dan tidak suka pada obyek yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut. 
     Prasangka sosial (Manstead dan Hewstone, 1996) juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan. Yaitu, ekspresi perasaan negatif, penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif terhadap anggota kelompok lain. Beberapa kasus tertentu yang berhubungan dengan tindakan seksisme dan rasisme juga dianggap sebagai prasangka. Prasangka sosial yang pada

 mulanya hanya merupakan sikap-sikap perasaan negatif itu, lambat-laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai itu, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif. Prasangka ini dapat bersumber dari dorongan sosiopsikologis, proses-proses kognitif, dan pengaruh keadaan sosiokultural terhadap individu dan kelompoknya (Manstead dan Hewstone, 1996).
     Allport, (dalam Zanden, 1984) menguraikan bahwa prasangka social merupakan suatu sikap yang membenci kelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci kelompok tersebut. Selanjutnya Kossen, (1986) menguraikan bahwa prasangka sosial merupakan gejala yang interen yang meminta tindakan pra hukum, atau membuat keputusan-keputusan berdasarkan bukti yang tidak cukup. Dengan demikian bila seseorang berupaya memahami orang lain dengan baik maka tindakan prasangka sosial tidak perlu terjadi.
     Prasangka merupakan sebuah tipe khusus dari sikap yang cenderung kearah negatif sehingga konsekuensinya, berfungsi sebagai skema (kerangka pikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi dan mengambil informasi) yang mempengaruhi cara memproses informasi. Melibatkan keyakinan dan perasaan negatif terhadap orang yang menjadi anggota kelompok sasaran prasangka.
Prasangka juga bisa disebut sebagai evaluasi kelompok atau seseorang yang mendasarkan diri pada keanggotaan dimana seorang tersebut menjadi anggotanya, prasangka merupakan evaluasi negatif terhadap outgroup. Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan , ras, atau kebudayaan yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu. Prasangka sosial yang terdiri dari attitude-attitude sosial yang negatif terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan manusia lain tadi.

Ø  Tindakan-tindakan diskriminatif itu terbagi menjadi dua, diantaranya:

1. Diskriminasi kasar—aksi negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama—dan kriminalitas berdasarkan kebencian (hate crimes)—kriminalitass yang berdasar pada prasangka rasial, etnis, dan tipe prasangka lainnya. Contoh: James Byrd seorang lelaki afro-amerika yang diseret dibelakang truk hingga meninggal oleh seorang laki-laki berkulit putih dengan prasangka tinggi.

2. Diskriminasi halus: rasisme modern (rasial implicit)—rasisme berusaha menutup-nutupi prasangka di tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap mengecam ketika hal itu aman dilakukan—dan tokenisme—contoh di mana individu menunjukkan tingkah laku positif yang menipu terhadap anggota kelompok out-group kepada siapa mereka merasakan prasangka yang kuat. Kemudian tingkah laku tokenistic ini digunakan sebagai alasan untuk menolak melakukan aksi yang lebih menguntungkan terhadap kelompok ini. Contoh: sebuah bank yang mempekerjakan orang dari etnis tertentu, supaya tidak disangka melakukan diskriminasi juga mempekerjakan masyarakat pribumi. Namun, masyarakat pribumi ini nantinya akan dipersulit untuk kenaikan jabatan.

Ø  karakteristik Orang Yang Berprasangka
 Ciri-ciri pribadi orang berprasangka bisa dilihat sebagai berikut:
1. Orang-orang yang berciri tidak toleransi
2. Kurang mengenal akan dirinya sendiri
3. Kurang berdaya cipta
4. Tidak merasa aman
5. Memupuk khayalan-khayalan agresif

Prasangka sosial menurut Rose, (dalam Gerungan, 1981) dapat merugikan masyarakat secara dan umum dan organisasi khususnya. Hal ini terjadi karena prasangka sosial dapat menghambat perkembangan potensi individu secara maksimal. Selanjutnya Steplan (1978) menguraikan bahwa prasangka sosial tidak saja mempengaruhi perilaku orang dewasa tetapi juga anak-anak sehingga dapat membatasi kesempatan mereka berkembang menjadi orang yang memiliki toleransi terhadap kelompok sasaran misalnya kelompok minoritas.
Rosenbreg dan Simmons, (1971) juga menguraikan bahwa prasangka sosial akan menjadikan kelompok individu tertentu dengan kelompok individu lain berbeda kedudukannya dan menjadikan mereka tidak mau bergabung atau bersosialisasi. Apabila hal ini terjadi dalam organisasi atau perusahaan akan merusak kerjasama.
 Selanjutnya diuraikan bahwa prasangka sosial dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama karena prasangka sosial merupakan pengalaman yang kurang menyenangkan bagi


kelompok yang diprasangkai tersebut.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tentang dampak prasangka sosial di atas adalah bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang dalam berbagai situasi. Prasangka sosial dapat menjadikan seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan kelompok lain. Apabila kondisi tersebut terdapat dalam organisasi akan mengganggu kerjasama yang baik sehingga upaya pencapaian tujuan organisasi kurang dapat terealisir dengan baik.
Ø  Dampak bagi orang yang menjadi obyek prasangka:
  1. Membentuk sikap rasial dan stereotip terhadap mereka sendiri
  2. Makin kuat seseorang menjadi bagian dari minoritas dan mengidentifikasikan diri maka makin sensitive terhadap prasangka halus dan makin kuat bereaksi terhadap prasangka tersebut.
Selain itu adapula prasangka terhadap gender di mana banyak budaya yang masih menempatkan wanita sebagai kaum minoritas. Prasangka yang dipengaruhi oleh gender ini disebut seksisme (sexism). Seksisme ada 2 jenis:
  1. Seksisme yang penuh kebencian: pandangan bahwa wanita, jika tidak inferior terhadap pria, memiliki banyak trait negatif (contoh: mereka ingin diistimewakan, sanngat sensitive, atau ingin merebut kekuasaan dari pria yang tidak seharusnya mereka miliki).
  2. Seksisme bentuk halus: pandangan yang menyatakan bahwa wanita pantas dilindungi, lebih superior daripada pria dalam banyak hal (contoh: mereka lebih murni dan lebih memiliki selera yang baik). Dan sangat diperlukan untuk kebahagiaan pria (contoh: tidak ada pria yang benar-benar bahagia kecuali ia memiliki seorang wanita yang ia puja dalam hidupnya).
Selain itu adapula istilah glass cellings yaitu hambatan palsu berdasarkan bias sikap dan organisasi yang menghambat perempuan berkualitas mencapai posisi teratas dalam organisasinya.


2.2. Sumber-Sumber Prasangka
Menurut kebanyakan telaah, prasangka terhadap manusia lain bukanlah suatu tanggapan yang dibawa sejak lahir, tetapi yang dipelajari. Singkatnya, kita belajar dari orang-orang lain menggunakan jalan pintas mental prasangka. Sebagai kanak-kanak, kita menempuhnya melalui tahap-tahap yang disebut para psikolog sebagai proses modeling- identifikasi- sosialisasi, dan selama proses inilah, prasangka bisa diperoleh.
            Orang tua dianggap sebagai guru utama prasangka, terutama karena pengaruh mereka paling besar selama tahap modeling, yaitu masa ketika anak-anak berusaia di bawah lima tahun. Modeling adalah proses saat anak-anak meniru orang lain, biasanya orang tua mereka.
            Jika anak-anak meningkat usianya dan masuk sekolah, mereka cenderung terpengaruh oleh teman sebayanya. Selama tahap ini, mereka mengidentifikasi diri dengan meniru model-model mereka. Namun, begitu usia anak-anak lebih dari sembilan tahun, hubungan orang tua mulai menipis, dan orang lain mulai melakukan pengaruh yang kuat pada nilai-nilai mereka. Dukungan teman sebaya, umpamanya, cenderung menjadi serba penting. Pada tahap ini, sosialisasi telah terjadi.
            Sebagaimana halnya pada sikap, prasangka muncul dari sumbr-sumber tertentu yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat yang mempunyai prasangka itu. Sumber utama yang bisa menghasilkan prasangka adalah perbedaan antar kelompok, yakni perbedaan antar etnis atau ras, perbedaan posisi dalam kuantitas anggota yang menghasilkan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, serta perbedaan ideology. Sumber lain dari prasangka adalah kejadian historis.
            Prasangka yang bersumber pada perbedaan etnis dapat ditemukan pada masyarakat heterogen yang merangkum berbagai kelompok etnis yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda, misalnya pada masyarakat Indonesia. Adapun prasangka yang bersumber pada perbedaan ras (juga agama) sering ditemukan pada masyarakat yang multirasial, seperti di Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa yang secara fisik (warna, kulit, bentuk tubuh, fisiognomi) ras yang satu berbeda dengan ras yang lainnya.
            Selanjutnya prasangka yang bersumber pada perbedaan ideology bisa ditemukan pada masyarakat di Negara yang memiliki orientasi yang kuat terhadap ideology lain yang menjadi lawannya dalam konteks persaingan global. Contoh prasangka yang bersumber pada perbedaan ideology ini adalah prasangka orang Amerika terhadap orang komunis,

       atau sebaliknya. Adapun prasangka yang bersumber pada kejadian histories adalah prasangka dari sekelompok orang terhadap sekelompok orang lainnya dalam suatu masyarakat, bertolak dari kejadian masa lampau dari masyarakat tersebut. Pada umumnya kelompok yang berprasangka adalah kelompok yang para pendahulunya pada masa lampau memegang kendali dan memperlakukan para pendahulu kelompok yang dikenai prasangka dengan perlakuan-perlakuan yang tidak layak dan diskriminatif. Contohnya adalah prasangka dari kelompok orang kulit putih terhadap orang-orang Negro di Amerika Serikat, yang berakar pada sejarah perbudakan orang-orang Negro oleh para pionir kulit putih, 300-an tahun yang lalu. Walaupun Amerika Serikat telah mengalami perubahan social politik yang yang besar, sikap dan prasangka dan anggapan stereotip tentang orang Negro (manusia pemalas, bodoh, brutal) pada sebagian anggota masyarakat kulit putih, tetap ada.
            Seperti halnya sikap, begitu pula halnya dengan prasangka, yang tidak dibawa manusia sejak ia dilahirkan. Prasangka terbentuk selama perkembangannya, baik didikan maupun dengan cara identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka. Dalam proses penelitian, tampak bahwa di sekolah-sekolah internasional, misalnya, tidak terdapat sedikitpun prasangka social pada anak-anak sekolah yang berasaal dari bermacam-macam golongan, ras atau kebudayaan. Mereka baru akan memperolehnya di dalam perkembangannya apabila kemudian mereka bergaul erat dengan orang-orang yang telah mempunyai prasangka social. Hal ini berlangsung dengan sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui proses imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, yang memegang peranan utama dalam interaksi social itu. Dalam kaitan ini, secara tidak sadar mereka lambat laun memperoleh sikap-sikap tertentu terhadap golongan-golongan tertentu, yang pada gilirannya dapat melahirkan stereotip-stereotip.
     Dilihat dari sudut psikologi perkembangan, terbentuknya prasangka pada manusia merupakan kelangsungan yang tidak berbeda dengan perkembangan sikap-sikap lainnya. Pembentukan prasangka semacam itu dapat berlangsung terus sejak anak usia dini sampai orang itu menjadi dewasa. Prasangka bisa terbentuk dari usia anak-anak melalui proses belajar social.
     Seorang anak bisa berprasangka karena ia sendiri telah mengalami pengalaman tidak enak yang pernah dilihat atau didengarnya terjadi pada orang lain. Sejak usia dini, anak-anak telah dipengaruhi oleh sikap yang diperlihatkan oleh orang tua mereka. Dengan demikian, apabila tidak ada pengaruh yang datang dari faktor-faktor yang lain, seorang
anak cenderung untuk memperlihatkan sikap menentang terhadap seseorang yang tidak disukai oleh orang tuanya, meskipun ia belum pernah mempunyai pengalaman yang cukup berarti dengan orang-orang tadi.
     Terdapat lima perspektif dalam menentukan sebab-sebab terjadinya prasangka. Kelima perspektif tersebut merupakan suatu kontinum, dari ppenjelasan sifat secara makroskopis histories sampai pada penyelesaian mikroskopis pribadi. Berikut adalah penjelasannya:
  1. Perspektif Hostoris
Perspektif ini didasarkan atas teori pertentangan kelas, yakni menyalahkan kelas rendah yang inferior; sementara mereka yang tergolong dalam kelas atas mempunyai alas an untuk berprasangka terhadap kelas rendah. Misalnya, prasangka orang kulit putih terhadap Negro mempunyai latar belakang sejarah, orang kulit putih sebagai “tuan” dan orang Negro sebagai “budak” antara penjajah dan yang dijajah, dan antara pribumi dan pribumi.
  1. Perspektif Sosiokultural dan Situasional
Perspektif ini menekankan pada kondisi saat ini sebagai penyebab timbulnya
prasangka, yang meliputi:
    1. Mobilitas social. Artinya, kelompok orang yang mengalami penurunan status (mobilitas social ke bawah) akan terus mencari alas an tentang nasib buruknya dan tidak mencari penyebab sesungguhnya.
    2. Konflik antar kelompok. Prasangka dalam hal ini merupakan realitas dari dua kelompok yang bersaing; tidak selalu disebabkan kondisi ekonomi.
    3. Stigma perkantoran. Artinya bahwa ketidak amanan dan ketidak pastian di kota disebabkan “noda” yang dilaukakan kelompok tertentu.
    4. Sosialisasi. Prasangka dalam hal ini muncul sebagai hasil proses pendidikan orang tua atau masyarakat di sekitarnya, melalui proses sosialisasi mulai kecil hingga dewasa.
  1. Perspektif Kepribadian
Teori ini menekankan pada faaktor kepribadian sebagai penyebab prasangka yang disebut dengan teori “frustasi agregasi”. Menurut teori ini, keadaan frustasi merupakan kondisi yang cukup untuk timbulnya tingkah laku agresif. Frustasi muncul dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh atasan (status yang lebih tinggi), yang tidak memungkinkan untuk mengadakan perlawanan terhadapnya, apalagi dengan  tingkah laku agresif. Keadaan ini sering membuat pengalihan (displacement) dari rasa kesalnya ke satu sasaran yang mempunyai nilai yang sama, namun tidak membahayakan dirinya. Akan tetapi, ada orang yang mengalami frustasi, tidak memiliki sikap frustasi. Atas dasar ini, para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih disebabkaan adanya tipe kepribadian dengan ciri kepribadian authoritarian personality.
  1. Perspektif Fenomenologis
Perspektif ini menekankan pada cara individu memandang atau memersepsi lingkungannya sehingga persepsilahyang menyebabkaan prasangka.
Sebagai anggota masyarakat, individu akan menyadari di mana atau termasuk kelompok etnis mana dia.
  1. Perspektif Naive
Perspektif ini menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti obyek prasangka, tidak menyoroti individu yang berprasangka. Misalnya, sifat-sifat orang kulit putih menurut orang Negro, atau sifat-sifat orang Negro menurut orang kulit putih.
Ø  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Timbulnya Prasangka Sosial

                                    Watson dan Trigerthan (1984) menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya prasangka sosial, yaitu:

1. Norma, yaitu standar prilaku individu di dalam keadaan tertentu. Hal ini dapat menjelaskan bahwa orang itu berprasangka bukan karena keadaan dirinya tetapi semata-mata individu konform terhadap norma yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. Selain itu seseorang berprasangka karena normanya menuntut individu tersebut untuk berprasangka. 

2. Peranan media massa, mempunyai arti besar dalam mendukung terjadinya prasangka sosial.  Faktor kognitif dalam prasangka sosial, yaitu cara berfikir seseorang yang negatif terhadap orang lain atau kelompok tertentu dapat menimbulkan prasangka sosial. 

3. Adanya perasaan in-group dan out-group, yaitu rasa memiliki yang berlebihan terhadap kelompoknya sehingga menimbulkan sikap yang berbeda terhadap individu lain di luar kelompoknya

Jadi, kita dapat memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan bagaimana kita membandingkan dengan individu lain. Identitas sosial merupakan keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial
 mereka atau kategori keanggotaan bersama secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri.
Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikan pula akhirnya prasangka diperkuat. Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior.
Secara alamiah memang selalu terjadi in group bias yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri. Tidak setiap orang memiliki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah.
Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni, high identifiers dan low identifiers. High identifiers mengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebaliknya low identifiers kurang kuat mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka dari kelompok ketika berada dibawah ancaman. Mereka juga merasa bahwa anggotaanggota kelompok kurang homogen. Teori identitas sosial memiliki dua prediksi, yaitu :
1. ancaman terhadap harga diri seseorang akan meningkatkan kebutuhan untuk in group  favoritism, dan
2. ekspresi in group pada gilirannya meningkatkan harga diri seseorang. Menurut
Worchel dan kawan-kawan (2000), biasanya loyalitas dan in group favoritism akan lebih muncul dan lebih intens pada kelompok minoritas daripada kelompok mayoritas.

2.3. Mengatasi Prasangka

     Pettigrew dan Tropp (dalam Aronson, 2007) mengatakan bahwa kontak antar ras merupakan hal yang baik. Dalam kenyataannya, kontak tidak selalu dapat mengurangi prasangka. Berdasarkan penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh Sherif, dkk (1961) terhadap kamp anak laki-laki, di mana dua kubu (EaKles dan Rattlers) saling bersaing, terdapat enam kondisi dalam kontak yang dapat mengurangi prasangka: Peneliti menempatkan dua kubu yang bersaing dalam suatu keadaan yang membuat mereka saling tergantung satu sama lain (mutual interdependence) (Kondisi pertama) untuk mencapai tujuan tertentu (Kondisi kedua). Contohnya, peneliti membuat sebuah keadaan darurat dengan merusak sistem suplai air. Satu-satunya cara untlik menyelesaikan masalah ini adalah dengan bersatunya Eagles dan Rattlers.

            Kondisi ketiga, ketika status individu berbeda, interaksi atau kontak dapat berujung pada pola stereotype yang ada, seperti ketika bos berbicara pada pegawainya, maka sang bos akan berperilaku sesuai stereotip umum mengenai bos. Pada intinya, kontak seharusnya membuat orang belajar bahwa stereotype (khususnya stereotype negatif) mereka salah. Dengan kesetaraan status antar individu. tidak ada yang lebih berkuasa dibandingkan siapapun, dan prejudice pun dapat tereduksi (berkurang). Kondisi keempat, menempatkan dua kelompok yang berbeda dalam satu ruangan tidak dapat dengan mudah mengurangi prejudice karena masing-masing individu akan tetap terfokus pada kelompoknya. Individu dapat lebih mengenal dan memahami individu lainnya jika berada dalam keadaan  one-to-one basis, dimana interaksi yang dilakukan lebih bersifat interpersonal.
 Melalui interaksi bersahabat dan informal dengan beberapa anggota out-group, individu dapat lebih memahami bahwa stereotip yang dipercayainya ternyata salah.
Kondisi kelima, melalui persahabatan, interaksi informal dengan berbagai anggota (multiple members) out-group, seorang individu akan belajar bahwa keyakinan-nya tentang out-group adalah salah. Kondisi keenam, adanya norma yang mempromosikan dan mendukung kesetaraan di antara kelompok (Amir, 1969; Wilder, 1984). Norma sosial yang kuat, dapat dimanfaatkan untuk memotivasi orang untuk menjangkau anggota kelompok luar. Sebagai contoh, jika bos atau profesor menciptakan dan memperkuat norma penerimaan dan toleransi di tempat kerja atau di dalam kelas, anggota kelompok akan mengubah perilaku mereka agar sesuai norma tersebut.

     Berdasarkan paparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan upaya-upaya untuk mengurangi prasangka sosial adalah dengan melakukan pendidikan dari ruang lingkup keluarga, pengetahuan yang dikemukakan secara objektif di sekolah-sekolah, menjauhkan orang/anak dari orang yang sudah memiliki prasangka sosial, media massa berperan secara aktif dan memberikan pengertian serta penjelasan secara gamblang akan kerugian-kerugian prasangka sosial kepada masyarakat secara keseluruhan.
Untuk mengukur sikap rasial implicit, ada 2 teknik yang bisa digunakan:
  1. The Bogus Pipeline—untuk mengukur sikap yang eksplisit. Dalam prosedurnya,partisipan diberitahu bahwa alat yang ditunjukkan dapat meenyingkap sikap mereka yang sebenarnya dengan mengukur reaksi fisik. Jika partisipan percaya penjelasan ini, mereka tidak memiliki alasan untuk berusaha menutup-nutupi pandangan mereka yang sebenarnya; lagipula hal ini akan ditunjukkan oleh alat tersebut. The bogus pipeline dapat digunakan untuk menyingkap sikap seseorang yang secara normal mereka sangkal/sembunyikan.
  2. The Bona Fide Pipeline—sebuah teknik menggunakan priming untuk mengukur sikap rasial implicit. Tahap pertama, partisipan melihat berbagai kata sifat dan diminta untuk mengindikasikan apakah mereka memiliki arti “baik” atau “buruk” dengan menekan salah satu dari kedua tombol. Tahap kedua, partisipan melihat foto orang yang termasuk dalam berbagai kelompok etnis atau rasial. Tahap ketiga, sekali lagi mereka diminta melihat foto dan diminta untuk mengindikasikan apakah mereka telah melihat atau belum pernah melihat sebelumnya tiap foto tersebut satu persatu. Tahap keempat—tahap yang melibatkan priming—partisipan sekali lagi diminta untuk mengindikasikan apakah kata-kata sifat tersebut memiliki arti “baik” atau “buruk”. Namun, sebelum melihat setiap kata sifat tersebut mereka secara cepat dihadapkan padda wajah dari orang-orang yang termasuk dalam berbagai kelompok rasial. Sikap rasial implicit akan tersingkap oleh seberapa cepat partisipan berespons pada kata-kata itu.
Berikut berbagai cara untuk mengatasi prasangka:
  • Memutuskan siklus prasangka: belajar tidak membenci karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dengan cara mencegah orang tua dan orang dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatic.
  • Berinteraksi langsung dengan kelompok berbeda: i) contact hypothesispandangan bahwa peningkatan kontak antara anggota dari berbagai kelompok sosial dapat efektif mengurangi prasangka diantara mereka. Usaha-usaha tersebut tampaknya berhasil hanya ketika kontak tersebut terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu. ii) extended contact hypothesis—sebuah pandangan yang menyatakan bahwa hanya dengan mengetahui bahwa anggota kelompoknya sendiri telah membentuk persahabatan dengan anggota kelompok out-group dapat mengurangi prasangka terhadap kelompok tersebut.
  • Kategorisasi ulang batas antara “kita” dan “mereka” hasil dari kategorisasi ulang ini, orang yang sebelumnya dipandang sebagai anggota out-group sekarang dapat dipandang sebagai bagian dari in-group.
  • Intervensi kognitif: memotivasi orang lain untuk tidak berprasangka, pelatihan (belajar untuk mengatakan “tidak” pada stereotype).
  • Pengaruh social untuk mengurangi pras


BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Prasangka adalah penilaian terhadap kelompok atau seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial ditujukan pada orang atau kelompok orang yang berbeda dengannya atau kelompoknya. Prasangka sosial memiliki kualitas suka dan tidak suka pada obyek yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut.
Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991) dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (social categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia sosial menjadi dua kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok mereka” (out group). In group adalah kelompok sosial dimana individu merasa dirinya dimiliki atau memiliki (“kelompok kami”). Sedangkan out group adalah grup di luar grup sendiri (“kelompok mereka”). dampak prasangka social di atas adalah bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang dalam berbagai situasi.
 Prasangka dapat menjadikan seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan kelompok lain. Apabila kondisi tersebut terdapat dalam organisasi akan mengganggu kerjasama yang baik sehingga upaya pencapaian tujuan organisasi kurang dapat terealisir dengan baik. Prasangka sosial sebenarnya adalah sikap dan terbentuknya sikap tersebut berawal dari persepsi. Jadi prasangka sosial terintegrasidalam kepribadian seseorang dan dengan adanya prasangka social dalam diriakan mempengaruhi persepsinya terhadap subyek atau obyek yang ada dalam lingkungannya.

3.2. SARAN
Saran Harus adanya keterbukaan satu sama lain dan masing-masing pihak harus dapat menerima keragaman budaya, ras dan etnis sebagai kekayaan suatu bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Justru dengan kesatuan dalam keragaman

ini kita akan menjadi suatu bangsa kuat di mata dunia. Bagi generasi yang akan datang, diupayakan memerangi prasangka antara golongan. Jelasnya pelajaran budi pekerti luhur harus kembali diajarkan kepada anak-anak sejak dini, baik dirumah maupun di sekolah karna lingkungan sangat berpengaruh besar. Sementara itu, sebaiknya dihindari pengajaran - pengajaran yang dapat menimbulkan prasangka - prasangka sosial tersebut.

























DAFTAR PUSTAKA

Baron, Robert A.2004.Psikologi Sosial Edisi Kesepuluh.Erlangga:Jakarta
Djaali. 2008. Psikologi Pendidikan.Bumi Aksara:Jakarta
Mendatu,Achmanto.2004.Mendefinisikan Prasangk.Bima Sakti:Semarang
Rahayuningsih, Sri Utami . 2008. Sikap.Erlangga:Jakarta
Tri dan Hudainah. 2006. Psikologi Sosial.UMM Press:Malang



sekian dulu gann TERIMAH KASI atas kunjungannya



 





















3 comments:

Manajemen dan Audit Lingkungan Artikel ISO 14001 Sebagai Pengelolaan Lingkungan Standar

1.1 Latar B e la k a n g   Untuk   mem e nuhi k e butuhan k e hidupan manusia mem e rluk a n sumb e rd a y a a lam, b e r...