Makalah
PRASANGKA
OLEH :
RISAL
GUNAWAN
F1B314012
PROGRAM STUDI TEKNIK TAMBANG KONS
REKAYASA SOSIAL TAMBANG
FAKULTAS ILMU
DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
dosen yang telah memberikan bimbingannya kepada kami dan kepada semua pihak
yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini.
Kami menyadari dalam penyusunan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, kelemahan, dan keterbatasan. Oleh
karena itu kami mengharapkan sumbangan pikiran, saran, dan kritikan yang
konstruktif demi kesempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Semoga dengan
makalah yang sederhana ini dapat memenuhi harapan kita semua dan memberikan
manfaat bagi pembaca, sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan. Terima kasih.
Kendari
, 29 Mei 2015
Penulis
HALAMAN JUDUL
1.1 Latar Belakang
1.2` Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Prasangka
2.2 Sumber-sumber prasangka
2.3 mengatasi prasangka
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR
BELAKANG
Masalah
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa atau kelompok etnis dan tiap
– tiap suku tersebut mempunyai kebudayaan dan sejarah perkembangannya masing –
masing yang pada akhirnya mempengaruhi perilakunya termasuk didalam prasangka
sosial. Hal ini sesuai dengan pendapat Lavine, (1977) yang menyatakan bahwa
kebudayaan mempengaruhi anggota masyarakat dalam segala aspek
kehidupannya. Selanjutnya kebudayaan
adalah cara manusia meneropong lingkungannya maka dari itu kebudayaan adalah
hasil dari perilaku manusia dan kebudayaan juga membentuk serta menentukan
perilaku manusia. Dengan demikian juga diartikan, bahwa kebudayaan yang
dimiliki oleh tiap – tiap suku bangsa yang ada diindonesia akan mempengaruhi
segala aspek kehidupan manusia termasuk didalamnya prasangka sosia.
1.2.RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
Pengertian Prasangka?
2. Apa
saja Sumber-Sumber Prasangka?
3. Bagaimana
cara Mengatasi Prasangka?
1.3.TUJUAN
1. Untuk
mengetahui pengertian Prasangka.
2. Untuk
mengetahui Sumber-Sumber Prasangka.
3. Untuk
mengetahui cara Mengatasi Prasangka.
1.4.MANFAAT
1. Dapat
mengetahui Pengertian Prasangka.
2. Dapat
mengetahui Sumber-Sumber Prasangka.
3. Dapat
mengetahui cara Mengetahui Prasangka.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian prasangka
Prasangka1 antar kelompok sering terjadi di Indonesia, khususnya para pelajar
atau mahasiswa yang terjadi karena berbagai macam sebab, namun yang sering
terjadi karena sebab-sebab yang sederhana/sepele (misal: saling pandang, saling
ejek, dan lain sebagainya). Permasalahan tersebut muncul karena tidak ada
penyelesaian, yang berkembang kemudianprasangka dan akhirnya timbulah konflik
secara fisik (tawuran) diantara mereka yang tidak jarang menimbulkan korban
harta maupun jiwa. Mahasiswa sebagai generasi penerus perjuangan
Baron dan Byrne
(1982) menyatakan bahwa prasangka ialah suatu sikap negative terhadap para
anggota kelompok tertentu, yang semata-mata didasarkan pada keanggotaannya di
kelompok itu. Prasangka sering diartikan sebagai sikap atau perilaku negatif terhadap
suatu kelompok atau anggota suatu kelompok (Nelson, 2009). Dua implikasi yang
menyertai apabila prasangka didefinisikan sebagai suatu sikap. Pertama, sikap
adalah fungsi dari skema (kerangka berpikir untuk mengorganisasi,
menginterpretasi, dan mengambil informasi. Oleh sebab itu individu yang
berprasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu akan memproses informasi
tentang kelompok tersebut berbeda bila dibandingkan memproses informasi
kelompok lain. Kedua, prasangka sebagai
suatu sikap melibatkan perasaan negative atau emosi yang ditujukan
kepada seseorang atau kelompok yang diprasangkai. Anggota kelompok luar
diasumsikan memiliki lebih bayak ciri sifat yang tidak diinginkan, dipersepsi
lebih mirip satu sama lain (lebih homogen) dibanding para anggota kelompok
sendiri, dan seringkali tidak disukai.
Lambert, 1995; Linville
& Fischer, 1993). Mengapa seseorang selalu menaruh prasangka
kepada kelompok lain? Baron
dan Byrne (1982) menjelaskan masalah ini:
1. Teori Konflik Realistik menurut teori inimenyatakan bahwa
prasangka berakar pada persaingan di antara kelompokkelompok sosial karena
memperebutkan komoditas
atau kesempatan berharga.
2. Teori Belajar Sosial yang menyatakan bahwa prasangka diperoleh
melalui pengalaman langsung maupun melalui pengalaman orang lain dengan cara
yang hampir sama dengan sikap-sikap lainnya.
3. Teori Kategorisasi Sosial
yang menyatakan bahwa seseorang memiliki kecenderungan untuk membagi dunia
sosial menjadi dua kategori terpisah: kelompok kita sendiri (“kita”) dan
kelompok-kelompok lain (“mereka”).
Diskriminasi dan
rasialisme sebagai manifestasi dari prasangka di Amerika maupun di
negara-negara lain saat ini telah hilang dari muka bumi, namun demikian muncul
diskriminasi dan rasialisme dalam bentuk baru atau rasisme modern (Baron &
Byrne, 1982). Demikian juga dengan keadaan di Indonesia, prasangka antar
kelompok seringkali menimbulkan adanya konflik di tengah-tengah masyarakat.
Konflik-konflik antar kelompok yang terjadi di Indonesia mulai dari skala kecil
(tawuran antar pelajar atau mahasiswa) sampai dengan skala yang besar (konflik
antar etnis/ras). Tawuran antar pelajar atau mahasiswa tidak hanya terjadi di kota-kota besar di Indonesia,
bahkan sampai di pelosok daerah. Peristiwa bentrokan antar mahasiswa di
Universitas Tanjungpura diawali dengan tindakan brutal puluhan mahasiswa
Fakultas Teknik yang merusak kendaraan dan membakar gedung milik Fakutas
Isipol. Mahasiswa Teknik secara tiba-tiba melakukan penyerangan ke Fakultas Isipol
sekitar pukul 16.30 WIB, Jumat (12/3/2010) Belum diketahui pasti apa maksud
serangan dari mahasiswa Fakultas Teknik tersebut (Tribun News, 2009). Tawuran
antara mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI) dan mahasiswa YAI di Jalan
Salemba Raya, Kamis (4/6/2009) malam. hampir dapat dikatakan terjadi setiap
tahun (Detik News, 2009). Yogyakarta sebagai kota pelajar juga tidak mau
ketinggalan, tawuran antara mahasiswa Fakultas ISIP dan Fakultas Teknologi
Informasi UPN Veteran sendiri yang terjadi di Kampus pada tanggal 13 Oktober
2009 (Ask- Indonesia, 2009). Mahasiswa dari Fakultas Teknik serta Seni, Bahasa,
dan Sastra Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (16/12/2009),
juga terlibat tawuran (Liputan6, 2009).
Peristiwa-peristiwa
amuk massa juga kembali menyeruak menjadi fenomena sosial yang mengkhawatirkan
kehidupan bangsa Indonesia. Selama bulan April 2010, tercatat dua peristiwa
kerusuhan besar antar antar kelompok, yaitu kerusuhan Priok (14 April
2010) dan kerusuhan
karyawan PT Drydocks World. Walaupun memiliki kronologis yang berbeda,
kedua kerusuhan di atas berangkat dari latar belakang yang sama, yaitu perasaan
diskriminasi satu kelompok atas kelompok lain. Kerusuhan Priok dipicu oleh
persepsi keliru masyarakat bahwa pemerintah melalui Satpol PP akan menggusur
Makam Mbah Priok yang dikeramatkan (ANTARA, 2010). Sementara kerusuhan Drydocks
World Batam disebabkan perasaan diskriminatif yang dialami para buruh
Indonesia oleh para pekerja asing yang menjadi atasannya (ANTARA, 2010).
Kasus-kasus lain juga menunjukkan indikasi yang serupa. Bentrok antara warga
dengan polisi dan PTPN VII Sumatera Selatan menurut Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) dipicu oleh tindakan sewenang-wenang pihak polisi
terhadap warga (ANTARA, 2009). Menurut Jusuf Kalla, semua kerusuhan horizontal
yang terjadi di Indonesia seperti di Aceh, Ambon, dan Poso lebih disebabkan
karena munculnya ketidakadilan di tengah masyarakat (ANTARA, 2010).
Satu
kelompok masyarakat mempersepsi bahwa kelompok lain mendapatkan perlakuan yang
lebih baik dengan cara yang tidak dapat
diterima. Hal inilah yang melahirkan prasangka antar kelompok. Sehingga, secara
teoritis dapat disimpulkan bahwa akar kerusuhan antar kelompok di atas adalah
munculnya perasaan deprivasi relatif pada salah satu kelompok massa. Dengan
mempertimbangkan konteks sosial,
ekonomi, dan politik di Indonesia yang sedang labil, deprivasi kelompok rentan
muncul pada kelompokkelompok yang tidak dalam posisi aman, antara lain kaum
miskin kota, para buruh, dan kelompok masyarakat yang secara sosial politik
terabaikan.
Pada kelompokkelompok tersebut, deprivasi
relatif dapat terstimulasi oleh informasi-informasi yang diterima atapun dengan
provokasi. Penelitian yang dilakukan oleh Pettigrew, Christ, WagnerMeertens,
Dick, dan Zick, (2008) menunjukkan bahwa kondisi deprivasi relatif secara
individual maupun kelompok berkorelasi secara signifikan terhadap prasangka.
Deprivasi relatif adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh seseorang dimana ada
kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Hal ini sesuai dengan beberapa
definisi deprivasi relatif yang dikemukakan beberapa ahli. Merton dan Kitt
(1950) memberi pengertian deprivasi adalah perasaan yang timbul karena adanya
pengalaman timpang (inequality) dalam diri individu sebagai akibat
adanya ketidak sesuaian antara harapan dengan apa yang diperoleh. Sedang Aberle
(1962) menyatakan bahwa deprivasi relatif ialah perasaan seseorang yang timbul
karena adanya kesenjangan
antara kenyataan dengan
harapan individu. Runcimann (1966) menyatakan bahwa deprivasi relatif adalah perbedaan
antara situasi yang diinginkan seseorang dengan situasi yang terjadi pada saat
itu. Gurr (1975) mengartikan deprivasi relatif adalah persepsi seseorang
terhadap adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan, baik di lingkungan
sosial maupun lingkungan fisik.
Deprivasi
relatif (relative deprivation) dialami ketika orang menanggapi adanya
jurang pemisah antara aspirasi mereka dengan peluang nyata, khususnya ketika
mereka membandingkan diri mereka sendiri dengan aneka situasi pembanding
seperti situasi mereka di masa lalu atau situasi yang ada pada
kelompok-kelompok pembanding. Persepsi ini dapat terjadi secara personal maupun
kelompok. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya deprivasi relatif
pada seseorang. Dari telaah teori secara umum dapat dikatakan bahwa deprivasi
relative terjadi karena adanya ketidak adilan sosial yang dialami oleh
seseorang. Hasil penelitian Faturochman (1998) menyatakan bahwa simptom deprivasi
relatif berkaitan dengan rasa ketidak adilan.
Hal
ini sesuai dengan pendapat Gurney dan Tierney (1982) yang menyatakan gerakan
sosial muncul ketika orang merasa diabaikan atau tidak diperlakukan selayaknya,
relative dibandingkan dengan perlakuan terhadap orang lain atau bagaimana
mereka merasa seharusnya diperlakukan. Dari uraian di atas, maka tujuan
penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh deprivasi relatif terhadap
prasangka antar kelompok.
Prasangka
sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu,
golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang
berprasangka itu. Menurut David O. Sears dan kawan-kawan (1991), prasangka
sosial adalah penilaian terhadap kelompok atau seorang individu yang terutama
didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut, artinya prasangka sosial
ditujukan pada orang atau kelompok orang yang berbeda dengannya atau
kelompoknya. Prasangka sosial memiliki kualitas suka dan tidak suka pada obyek
yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi tindakan atau perilaku
seseorang yang berprasangka tersebut.
Prasangka
sosial (Manstead dan Hewstone, 1996) juga didefinisikan sebagai suatu keadaan
yang berkaitan dengan sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan. Yaitu, ekspresi
perasaan negatif, penunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif
terhadap anggota kelompok lain. Beberapa kasus tertentu yang berhubungan dengan
tindakan seksisme dan rasisme juga dianggap sebagai prasangka. Prasangka sosial
yang pada
mulanya hanya merupakan sikap-sikap perasaan
negatif itu, lambat-laun menyatakan dirinya dalam tindakan-tindakan yang
diskriminatif terhadap orang-orang yang termasuk golongan yang diprasangkai
itu, tanpa terdapat alasan-alasan yang objektif pada pribadi orang yang
dikenakan tindakan-tindakan diskriminatif. Prasangka ini dapat bersumber dari
dorongan sosiopsikologis, proses-proses kognitif, dan pengaruh keadaan
sosiokultural terhadap individu dan kelompoknya (Manstead dan Hewstone, 1996).
Allport,
(dalam Zanden, 1984) menguraikan bahwa prasangka social merupakan suatu sikap
yang membenci kelompok lain tanpa adanya alasan yang objektif untuk membenci
kelompok tersebut. Selanjutnya Kossen, (1986) menguraikan bahwa prasangka
sosial merupakan gejala yang interen yang meminta tindakan pra hukum, atau
membuat keputusan-keputusan berdasarkan bukti yang tidak cukup. Dengan demikian
bila seseorang berupaya memahami orang lain dengan baik maka tindakan prasangka
sosial tidak perlu terjadi.
Prasangka
merupakan sebuah tipe khusus dari sikap yang cenderung kearah negatif sehingga
konsekuensinya, berfungsi sebagai skema (kerangka pikir kognitif untuk
mengorganisasi, menginterpretasi dan mengambil informasi) yang mempengaruhi
cara memproses informasi. Melibatkan keyakinan dan perasaan negatif terhadap orang
yang menjadi anggota kelompok sasaran prasangka.
Prasangka
juga bisa disebut sebagai evaluasi kelompok atau seseorang yang mendasarkan
diri pada keanggotaan dimana seorang tersebut menjadi anggotanya, prasangka
merupakan evaluasi negatif terhadap outgroup. Prasangka sosial merupakan sikap
perasaan orang-orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan , ras, atau
kebudayaan yang berlainan dengan golongan orang yang berprasangka itu.
Prasangka sosial yang terdiri dari attitude-attitude sosial yang negatif
terhadap golongan lain, dan mempengaruhi tingkah lakunya terhadap golongan
manusia lain tadi.
Ø
Tindakan-tindakan diskriminatif itu
terbagi menjadi dua, diantaranya:
1.
Diskriminasi kasar—aksi negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama—dan
kriminalitas berdasarkan kebencian (hate crimes)—kriminalitass yang berdasar
pada prasangka rasial, etnis, dan tipe prasangka lainnya. Contoh: James Byrd
seorang lelaki afro-amerika yang diseret dibelakang truk hingga meninggal oleh
seorang laki-laki berkulit putih dengan prasangka tinggi.
2.
Diskriminasi halus: rasisme modern (rasial implicit)—rasisme berusaha
menutup-nutupi prasangka di tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap
mengecam ketika hal itu aman dilakukan—dan tokenisme—contoh di mana individu
menunjukkan tingkah laku positif yang menipu terhadap anggota kelompok
out-group kepada siapa mereka merasakan prasangka yang kuat. Kemudian tingkah
laku tokenistic ini digunakan sebagai alasan untuk menolak melakukan aksi yang
lebih menguntungkan terhadap kelompok ini. Contoh: sebuah bank yang
mempekerjakan orang dari etnis tertentu, supaya tidak disangka melakukan
diskriminasi juga mempekerjakan masyarakat pribumi. Namun, masyarakat pribumi
ini nantinya akan dipersulit untuk kenaikan jabatan.
Ø karakteristik
Orang Yang Berprasangka
Ciri-ciri pribadi orang berprasangka bisa
dilihat sebagai berikut:
1. Orang-orang yang berciri tidak
toleransi
2. Kurang mengenal akan dirinya
sendiri
3. Kurang berdaya cipta
4. Tidak merasa aman
5. Memupuk khayalan-khayalan agresif
Prasangka
sosial menurut Rose, (dalam Gerungan, 1981) dapat merugikan masyarakat secara
dan umum dan organisasi khususnya. Hal ini terjadi karena prasangka sosial
dapat menghambat perkembangan potensi individu secara maksimal. Selanjutnya
Steplan (1978) menguraikan bahwa prasangka sosial tidak saja mempengaruhi
perilaku orang dewasa tetapi juga anak-anak sehingga dapat membatasi kesempatan
mereka berkembang menjadi orang yang memiliki toleransi terhadap kelompok
sasaran misalnya kelompok minoritas.
Rosenbreg
dan Simmons, (1971) juga menguraikan bahwa prasangka sosial akan menjadikan
kelompok individu tertentu dengan kelompok individu lain berbeda kedudukannya
dan menjadikan mereka tidak mau bergabung atau bersosialisasi. Apabila hal ini
terjadi dalam organisasi atau perusahaan akan merusak kerjasama.
Selanjutnya diuraikan bahwa prasangka sosial
dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama karena prasangka sosial merupakan
pengalaman yang kurang menyenangkan bagi
kelompok yang diprasangkai
tersebut.
Kesimpulan
yang dapat diambil dari uraian tentang dampak prasangka sosial di atas adalah
bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku
seseorang dalam berbagai situasi. Prasangka sosial dapat menjadikan seseorang
atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau bersosialisasi dengan kelompok
lain. Apabila kondisi tersebut terdapat dalam organisasi akan mengganggu
kerjasama yang baik sehingga upaya pencapaian tujuan organisasi kurang dapat
terealisir dengan baik.
Ø Dampak bagi orang yang menjadi obyek prasangka:
- Membentuk sikap rasial dan stereotip terhadap mereka sendiri
- Makin kuat seseorang menjadi bagian dari minoritas dan mengidentifikasikan diri maka makin sensitive terhadap prasangka halus dan makin kuat bereaksi terhadap prasangka tersebut.
Selain itu adapula prasangka terhadap gender di mana banyak
budaya yang masih menempatkan wanita sebagai kaum minoritas. Prasangka yang
dipengaruhi oleh gender ini disebut seksisme (sexism). Seksisme
ada 2 jenis:
- Seksisme yang penuh kebencian: pandangan bahwa wanita, jika tidak inferior terhadap pria, memiliki banyak trait negatif (contoh: mereka ingin diistimewakan, sanngat sensitive, atau ingin merebut kekuasaan dari pria yang tidak seharusnya mereka miliki).
- Seksisme bentuk halus: pandangan yang menyatakan bahwa wanita pantas dilindungi, lebih superior daripada pria dalam banyak hal (contoh: mereka lebih murni dan lebih memiliki selera yang baik). Dan sangat diperlukan untuk kebahagiaan pria (contoh: tidak ada pria yang benar-benar bahagia kecuali ia memiliki seorang wanita yang ia puja dalam hidupnya).
Selain itu adapula istilah glass cellings yaitu
hambatan palsu berdasarkan bias sikap dan organisasi yang menghambat perempuan
berkualitas mencapai posisi teratas dalam organisasinya.
2.2. Sumber-Sumber Prasangka
Menurut kebanyakan telaah, prasangka terhadap manusia lain bukanlah suatu
tanggapan yang dibawa sejak lahir, tetapi yang dipelajari. Singkatnya, kita
belajar dari orang-orang lain menggunakan jalan pintas mental prasangka.
Sebagai kanak-kanak, kita menempuhnya melalui tahap-tahap yang disebut para
psikolog sebagai proses modeling- identifikasi- sosialisasi, dan selama proses
inilah, prasangka bisa diperoleh.
Orang tua dianggap sebagai
guru utama prasangka, terutama karena pengaruh mereka paling besar selama tahap
modeling, yaitu masa ketika anak-anak berusaia di bawah lima tahun. Modeling
adalah proses saat anak-anak meniru orang lain, biasanya orang tua mereka.
Jika anak-anak meningkat
usianya dan masuk sekolah, mereka cenderung terpengaruh oleh teman sebayanya.
Selama tahap ini, mereka mengidentifikasi diri dengan meniru model-model
mereka. Namun, begitu usia anak-anak lebih dari sembilan tahun, hubungan orang
tua mulai menipis, dan orang lain mulai melakukan pengaruh yang kuat pada
nilai-nilai mereka. Dukungan teman sebaya, umpamanya, cenderung menjadi serba
penting. Pada tahap ini, sosialisasi telah terjadi.
Sebagaimana halnya pada
sikap, prasangka muncul dari sumbr-sumber tertentu yang terdapat dalam kelompok
atau masyarakat yang mempunyai prasangka itu. Sumber utama yang bisa
menghasilkan prasangka adalah perbedaan antar kelompok, yakni perbedaan
antar etnis atau ras, perbedaan posisi dalam kuantitas anggota yang
menghasilkan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, serta perbedaan
ideology. Sumber lain dari prasangka adalah kejadian historis.
Prasangka yang bersumber
pada perbedaan etnis dapat ditemukan pada masyarakat heterogen yang merangkum
berbagai kelompok etnis yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda,
misalnya pada masyarakat Indonesia. Adapun prasangka yang bersumber pada
perbedaan ras (juga agama) sering ditemukan pada masyarakat yang multirasial,
seperti di Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa yang secara fisik (warna,
kulit, bentuk tubuh, fisiognomi) ras yang satu berbeda dengan ras yang lainnya.
Selanjutnya prasangka yang
bersumber pada perbedaan ideology bisa ditemukan pada masyarakat di Negara yang
memiliki orientasi yang kuat terhadap ideology lain yang menjadi lawannya dalam
konteks persaingan global. Contoh prasangka yang bersumber pada perbedaan
ideology ini adalah prasangka orang Amerika terhadap orang komunis,
atau sebaliknya. Adapun prasangka yang bersumber
pada kejadian histories adalah prasangka dari sekelompok orang terhadap
sekelompok orang lainnya dalam suatu masyarakat, bertolak dari kejadian masa
lampau dari masyarakat tersebut. Pada umumnya kelompok yang berprasangka adalah
kelompok yang para pendahulunya pada masa lampau memegang kendali dan
memperlakukan para pendahulu kelompok yang dikenai prasangka dengan
perlakuan-perlakuan yang tidak layak dan diskriminatif. Contohnya adalah
prasangka dari kelompok orang kulit putih terhadap orang-orang Negro di Amerika
Serikat, yang berakar pada sejarah perbudakan orang-orang Negro oleh para
pionir kulit putih, 300-an tahun yang lalu. Walaupun Amerika Serikat telah
mengalami perubahan social politik yang yang besar, sikap dan prasangka dan
anggapan stereotip tentang orang Negro (manusia pemalas, bodoh, brutal) pada
sebagian anggota masyarakat kulit putih, tetap ada.
Seperti halnya sikap,
begitu pula halnya dengan prasangka, yang tidak dibawa manusia sejak ia
dilahirkan. Prasangka terbentuk selama perkembangannya, baik didikan maupun
dengan cara identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka. Dalam
proses penelitian, tampak bahwa di sekolah-sekolah internasional, misalnya,
tidak terdapat sedikitpun prasangka social pada anak-anak sekolah yang berasaal
dari bermacam-macam golongan, ras atau kebudayaan. Mereka baru akan
memperolehnya di dalam perkembangannya apabila kemudian mereka bergaul erat
dengan orang-orang yang telah mempunyai prasangka social. Hal ini berlangsung
dengan sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui proses imitasi, sugesti,
identifikasi, dan simpati, yang memegang peranan utama dalam interaksi social
itu. Dalam kaitan ini, secara tidak sadar mereka lambat laun memperoleh
sikap-sikap tertentu terhadap golongan-golongan tertentu, yang pada gilirannya
dapat melahirkan stereotip-stereotip.
Dilihat dari sudut psikologi perkembangan,
terbentuknya prasangka pada manusia merupakan kelangsungan yang tidak berbeda
dengan perkembangan sikap-sikap lainnya. Pembentukan prasangka semacam itu dapat
berlangsung terus sejak anak usia dini sampai orang itu menjadi dewasa.
Prasangka bisa terbentuk dari usia anak-anak melalui proses belajar social.
Seorang anak bisa berprasangka karena ia
sendiri telah mengalami pengalaman tidak enak yang pernah dilihat atau
didengarnya terjadi pada orang lain. Sejak usia dini, anak-anak telah
dipengaruhi oleh sikap yang diperlihatkan oleh orang tua mereka. Dengan
demikian, apabila tidak ada pengaruh yang datang dari faktor-faktor yang lain,
seorang
anak
cenderung untuk memperlihatkan sikap menentang terhadap seseorang yang tidak
disukai oleh orang tuanya, meskipun ia belum pernah mempunyai pengalaman yang
cukup berarti dengan orang-orang tadi.
Terdapat lima perspektif dalam menentukan
sebab-sebab terjadinya prasangka. Kelima perspektif tersebut merupakan suatu
kontinum, dari ppenjelasan sifat secara makroskopis histories sampai pada
penyelesaian mikroskopis pribadi. Berikut adalah penjelasannya:
- Perspektif Hostoris
Perspektif ini didasarkan atas teori pertentangan kelas, yakni menyalahkan
kelas rendah yang inferior; sementara mereka yang tergolong dalam kelas atas
mempunyai alas an untuk berprasangka terhadap kelas rendah. Misalnya, prasangka
orang kulit putih terhadap Negro mempunyai latar belakang sejarah, orang kulit
putih sebagai “tuan” dan orang Negro sebagai “budak” antara
penjajah dan yang dijajah, dan antara pribumi dan pribumi.
- Perspektif Sosiokultural dan Situasional
Perspektif ini menekankan pada kondisi saat ini sebagai penyebab timbulnya
prasangka, yang meliputi:
- Mobilitas social. Artinya, kelompok orang yang mengalami penurunan status (mobilitas social ke bawah) akan terus mencari alas an tentang nasib buruknya dan tidak mencari penyebab sesungguhnya.
- Konflik antar kelompok. Prasangka dalam hal ini merupakan realitas dari dua kelompok yang bersaing; tidak selalu disebabkan kondisi ekonomi.
- Stigma perkantoran. Artinya bahwa ketidak amanan dan ketidak pastian di kota disebabkan “noda” yang dilaukakan kelompok tertentu.
- Sosialisasi. Prasangka dalam hal ini muncul sebagai hasil proses pendidikan orang tua atau masyarakat di sekitarnya, melalui proses sosialisasi mulai kecil hingga dewasa.
- Perspektif Kepribadian
Teori ini menekankan pada faaktor kepribadian sebagai penyebab prasangka
yang disebut dengan teori “frustasi agregasi”. Menurut teori ini,
keadaan frustasi merupakan kondisi yang cukup untuk timbulnya tingkah laku
agresif. Frustasi muncul dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh
atasan (status yang lebih tinggi), yang tidak memungkinkan untuk mengadakan
perlawanan terhadapnya, apalagi dengan
tingkah laku agresif. Keadaan ini sering membuat pengalihan (displacement)
dari rasa kesalnya ke satu sasaran yang mempunyai nilai yang sama, namun tidak
membahayakan dirinya. Akan tetapi, ada orang yang mengalami frustasi, tidak
memiliki sikap frustasi. Atas dasar ini, para ahli beranggapan bahwa prasangka
lebih disebabkaan adanya tipe kepribadian dengan ciri kepribadian authoritarian
personality.
- Perspektif Fenomenologis
Perspektif ini menekankan pada cara individu memandang atau memersepsi
lingkungannya sehingga persepsilahyang menyebabkaan prasangka.
Sebagai
anggota masyarakat, individu akan menyadari di mana atau termasuk kelompok
etnis mana dia.
- Perspektif Naive
Perspektif ini menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti obyek prasangka,
tidak menyoroti individu yang berprasangka. Misalnya, sifat-sifat orang kulit
putih menurut orang Negro, atau sifat-sifat orang Negro menurut orang kulit
putih.
Ø Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Timbulnya Prasangka Sosial
Watson
dan Trigerthan (1984) menerangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
prasangka sosial, yaitu:
1. Norma, yaitu standar prilaku
individu di dalam keadaan tertentu. Hal ini dapat menjelaskan bahwa orang itu
berprasangka bukan karena keadaan dirinya tetapi semata-mata individu konform
terhadap norma yang berlaku dalam lingkungan sosialnya. Selain itu seseorang
berprasangka karena normanya menuntut individu tersebut untuk
berprasangka.
2. Peranan media massa, mempunyai
arti besar dalam mendukung terjadinya prasangka sosial. Faktor kognitif
dalam prasangka sosial, yaitu cara berfikir seseorang yang negatif terhadap
orang lain atau kelompok tertentu dapat menimbulkan prasangka sosial.
3. Adanya perasaan in-group dan
out-group, yaitu rasa memiliki yang berlebihan terhadap kelompoknya sehingga
menimbulkan sikap yang berbeda terhadap individu lain di luar kelompoknya
Jadi, kita dapat
memperteguh harga diri kita dengan prestasi yang kita miliki secara pribadi dan
bagaimana kita membandingkan dengan individu lain. Identitas sosial merupakan
keseluruhan aspek konsep diri seseorang yang berasal dari kelompok sosial
mereka atau kategori keanggotaan bersama
secara emosional dan hasil evaluasi yang bermakna. Artinya, seseorang memiliki
kelekatan emosional terhadap kelompok sosialnya. Kelekatan itu sendiri muncul
setelah menyadari keberadaannya sebagai anggota suatu kelompok tertentu. Orang
memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri.
Semakin
positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan
akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai
memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi
yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga
diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka
terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikan pula akhirnya prasangka
diperkuat. Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu
berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan
identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas
kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior.
Secara
alamiah memang selalu terjadi in group bias yakni kecenderungan untuk
menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik
dibandingkan kelompok sendiri. Tidak setiap orang memiliki derajat identifikasi
yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang
kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok
cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap
kelompok rendah.
Secara
umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua
yakni, high identifiers dan low identifiers. High identifiers
mengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok.
Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala
mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang
dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi
ancaman tersebut. Sebaliknya low identifiers kurang kuat
mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah
terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan
diri mereka dari kelompok ketika berada dibawah ancaman. Mereka juga merasa
bahwa anggotaanggota kelompok kurang homogen. Teori identitas sosial memiliki
dua prediksi, yaitu :
1.
ancaman terhadap harga diri seseorang akan meningkatkan kebutuhan untuk in
group favoritism, dan
2. ekspresi in group
pada gilirannya meningkatkan harga diri seseorang. Menurut
Worchel dan kawan-kawan
(2000), biasanya loyalitas dan in group favoritism akan lebih muncul dan
lebih intens pada kelompok minoritas daripada kelompok mayoritas.
2.3.
Mengatasi Prasangka
Pettigrew
dan Tropp (dalam Aronson, 2007) mengatakan bahwa kontak antar ras merupakan hal
yang baik. Dalam kenyataannya, kontak tidak selalu dapat mengurangi prasangka.
Berdasarkan penelitian dan eksperimen yang dilakukan oleh Sherif, dkk (1961)
terhadap kamp anak laki-laki, di mana dua kubu (EaKles dan Rattlers) saling
bersaing, terdapat enam kondisi dalam kontak yang dapat mengurangi prasangka:
Peneliti menempatkan dua kubu yang bersaing dalam suatu keadaan yang membuat
mereka saling tergantung satu sama lain (mutual interdependence)
(Kondisi pertama) untuk mencapai tujuan tertentu (Kondisi kedua). Contohnya,
peneliti membuat sebuah keadaan darurat dengan merusak sistem suplai air.
Satu-satunya cara untlik menyelesaikan masalah ini adalah dengan bersatunya
Eagles dan Rattlers.
Kondisi
ketiga, ketika status individu berbeda, interaksi atau kontak dapat berujung
pada pola stereotype yang ada, seperti ketika bos berbicara pada pegawainya,
maka sang bos akan berperilaku sesuai stereotip umum mengenai bos. Pada
intinya, kontak seharusnya membuat orang belajar bahwa stereotype (khususnya
stereotype negatif) mereka salah. Dengan kesetaraan status antar individu.
tidak ada yang lebih berkuasa dibandingkan siapapun, dan prejudice pun dapat
tereduksi (berkurang). Kondisi keempat, menempatkan dua kelompok yang berbeda
dalam satu ruangan tidak dapat dengan mudah mengurangi prejudice karena
masing-masing individu akan tetap terfokus pada kelompoknya. Individu dapat
lebih mengenal dan memahami individu lainnya jika berada dalam keadaan one-to-one basis, dimana interaksi yang dilakukan
lebih bersifat interpersonal.
Melalui interaksi bersahabat dan informal
dengan beberapa anggota out-group, individu dapat lebih memahami bahwa
stereotip yang dipercayainya ternyata salah.
Kondisi kelima, melalui
persahabatan, interaksi informal dengan berbagai anggota (multiple members)
out-group, seorang individu akan belajar bahwa keyakinan-nya tentang out-group
adalah salah. Kondisi keenam, adanya norma yang mempromosikan dan mendukung
kesetaraan di antara kelompok (Amir, 1969; Wilder, 1984). Norma sosial yang
kuat, dapat dimanfaatkan untuk memotivasi orang untuk menjangkau anggota
kelompok luar. Sebagai contoh, jika bos atau profesor menciptakan dan
memperkuat norma penerimaan dan toleransi di tempat kerja atau di dalam kelas,
anggota kelompok akan mengubah perilaku mereka agar sesuai norma tersebut.
Berdasarkan
paparan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan upaya-upaya untuk mengurangi
prasangka sosial adalah dengan melakukan pendidikan dari ruang lingkup
keluarga, pengetahuan yang dikemukakan secara objektif di sekolah-sekolah,
menjauhkan orang/anak dari orang yang sudah memiliki prasangka sosial, media
massa berperan secara aktif dan memberikan pengertian serta penjelasan secara
gamblang akan kerugian-kerugian prasangka sosial kepada masyarakat secara
keseluruhan.
Untuk
mengukur sikap rasial implicit, ada 2 teknik yang bisa digunakan:
- The Bogus Pipeline—untuk mengukur sikap yang eksplisit. Dalam prosedurnya,partisipan diberitahu bahwa alat yang ditunjukkan dapat meenyingkap sikap mereka yang sebenarnya dengan mengukur reaksi fisik. Jika partisipan percaya penjelasan ini, mereka tidak memiliki alasan untuk berusaha menutup-nutupi pandangan mereka yang sebenarnya; lagipula hal ini akan ditunjukkan oleh alat tersebut. The bogus pipeline dapat digunakan untuk menyingkap sikap seseorang yang secara normal mereka sangkal/sembunyikan.
- The Bona Fide Pipeline—sebuah teknik menggunakan priming untuk mengukur sikap rasial implicit. Tahap pertama, partisipan melihat berbagai kata sifat dan diminta untuk mengindikasikan apakah mereka memiliki arti “baik” atau “buruk” dengan menekan salah satu dari kedua tombol. Tahap kedua, partisipan melihat foto orang yang termasuk dalam berbagai kelompok etnis atau rasial. Tahap ketiga, sekali lagi mereka diminta melihat foto dan diminta untuk mengindikasikan apakah mereka telah melihat atau belum pernah melihat sebelumnya tiap foto tersebut satu persatu. Tahap keempat—tahap yang melibatkan priming—partisipan sekali lagi diminta untuk mengindikasikan apakah kata-kata sifat tersebut memiliki arti “baik” atau “buruk”. Namun, sebelum melihat setiap kata sifat tersebut mereka secara cepat dihadapkan padda wajah dari orang-orang yang termasuk dalam berbagai kelompok rasial. Sikap rasial implicit akan tersingkap oleh seberapa cepat partisipan berespons pada kata-kata itu.
Berikut
berbagai cara untuk mengatasi prasangka:
- Memutuskan siklus prasangka: belajar tidak membenci karena dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dengan cara mencegah orang tua dan orang dewasa lainnya untuk melatih anak menjadi fanatic.
- Berinteraksi langsung dengan kelompok berbeda: i) contact hypothesis—pandangan bahwa peningkatan kontak antara anggota dari berbagai kelompok sosial dapat efektif mengurangi prasangka diantara mereka. Usaha-usaha tersebut tampaknya berhasil hanya ketika kontak tersebut terjadi di bawah kondisi-kondisi tertentu. ii) extended contact hypothesis—sebuah pandangan yang menyatakan bahwa hanya dengan mengetahui bahwa anggota kelompoknya sendiri telah membentuk persahabatan dengan anggota kelompok out-group dapat mengurangi prasangka terhadap kelompok tersebut.
- Kategorisasi ulang batas antara “kita” dan “mereka” hasil dari kategorisasi ulang ini, orang yang sebelumnya dipandang sebagai anggota out-group sekarang dapat dipandang sebagai bagian dari in-group.
- Intervensi kognitif: memotivasi orang lain untuk tidak berprasangka, pelatihan (belajar untuk mengatakan “tidak” pada stereotype).
- Pengaruh social untuk mengurangi pras
BAB
III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Prasangka adalah penilaian terhadap kelompok atau
seorang individu yang terutama didasarkan pada keanggotaan kelompok tersebut,
artinya prasangka sosial ditujukan pada orang atau kelompok orang yang berbeda
dengannya atau kelompoknya. Prasangka sosial memiliki kualitas suka dan tidak
suka pada obyek yang diprasangkainya, dan kondisi ini akan mempengaruhi
tindakan atau perilaku seseorang yang berprasangka tersebut.
Ciri-ciri prasangka sosial menurut Brigham (1991)
dapat dilihat dari kecenderungan individu untuk membuat kategori sosial (social
categorization). Kategori sosial adalah kecenderungan untuk membagi dunia
sosial menjadi dua kelompok, yaitu “kelompok kita” (in group) dan “kelompok
mereka” (out group). In group adalah kelompok sosial dimana individu merasa
dirinya dimiliki atau memiliki (“kelompok kami”). Sedangkan out group adalah
grup di luar grup sendiri (“kelompok mereka”). dampak prasangka social di atas
adalah bahwa dengan adanya prasangka sosial akan mempengaruhi sikap dan tingkah
laku seseorang dalam berbagai situasi.
Prasangka
dapat menjadikan seseorang atau kelompok tertentu tidak mau bergabung atau
bersosialisasi dengan kelompok lain. Apabila kondisi tersebut terdapat dalam
organisasi akan mengganggu kerjasama yang baik sehingga upaya pencapaian tujuan
organisasi kurang dapat terealisir dengan baik. Prasangka sosial sebenarnya
adalah sikap dan terbentuknya sikap tersebut berawal dari persepsi. Jadi
prasangka sosial terintegrasidalam kepribadian seseorang dan dengan adanya
prasangka social dalam diriakan mempengaruhi persepsinya terhadap subyek atau
obyek yang ada dalam lingkungannya.
3.2. SARAN
Saran Harus adanya keterbukaan satu sama lain dan
masing-masing pihak harus dapat menerima keragaman budaya, ras dan etnis
sebagai kekayaan suatu bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Justru dengan
kesatuan dalam keragaman
ini kita akan menjadi suatu bangsa kuat di mata
dunia. Bagi generasi yang akan datang, diupayakan memerangi prasangka antara
golongan. Jelasnya pelajaran budi pekerti luhur harus kembali diajarkan kepada
anak-anak sejak dini, baik dirumah maupun di sekolah karna lingkungan sangat
berpengaruh besar. Sementara itu, sebaiknya dihindari pengajaran - pengajaran
yang dapat menimbulkan prasangka - prasangka sosial tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, Robert A.2004.Psikologi
Sosial Edisi Kesepuluh.Erlangga:Jakarta
Djaali.
2008. Psikologi Pendidikan.Bumi
Aksara:Jakarta
Mendatu,Achmanto.2004.Mendefinisikan
Prasangk.Bima Sakti:Semarang
Rahayuningsih,
Sri Utami . 2008. Sikap.Erlangga:Jakarta
Tri
dan Hudainah. 2006. Psikologi Sosial.UMM Press:Malang
Terima kasih atas informasinya
ReplyDeleteTerima kasih atas informasinya
ReplyDeletesama sama itu kita umat mausia harus berbagi
Delete